Tidur nyenyak sudah tentu, bangun kesiangan juga hampir terjadi yang diperparah dengan perbedaan waktu. Kami berada di WITA paling barat yang secara de facto mungkin lebih terpengaruh WIB. Usai shalat subuh Mama kembali tidur. Aku mencoba berjalan-jalan bersama Bos di sekitar hotel. Sudah tentu Bos girang bukan main karena bertemu dengan salah satu sahabatnya yang terparkir tak jauh dari kamar kami: truk! Hotel ini memang menjadi hotel transit utama di Negara. Selain kami nampak beberapa keluarga dengan mobil jenis MPV juga menginap di hotel ini serta sebuah truk berukuran kecil dan pengendara moge.
Setelah Mama bangun kami mulai persiapan keberangkatan. Malam harinya kami sepakat bahwa kami tidak boleh terlalu mengejar target lagi meskipun juga tidak terlamapu siang. Intinya ketka semua persiapan beres dan rasa lelah sudah taratasi, maka kami akan berangkat.
Sarapan pagi datang dengan menu nasi goreng + telur ceplok. Mama aku persilahkan menyantapan makanan terlebih dahulu sambil mencoba menyuapi Bos, sedangkan aku mencuci semua kotak makan. Bos hanya mau menikmati telur karena nasi goreng tersebut cenderung memiliki rasa pedas. Oke tidak masalah Bos bisa kami carikan makan di sekitar Gilimanuk. Sebagai pengganjal perut ia sudah menikmati telur dan pancake. Usai sarapan dan mandi kami pun siap melanjutkan perjalanan menuju Gilimanuk. Terima Kasih atas pelayananannya yang sangat memuaskan, Hotel Jati!
Rute perjalanan chapter V - VII |
Perjalanan Negara – Gilimanuk mungkin menjadi salah satu yang paling menyenangkan. Tidur cukup, perut kenyang, badan segar, dan di hari yang relatif pagi sekitar pukul 09:00 WITA adalah bekal yang cukup. Dan tentu saja tak jauh dari Negara kami tiba di Taman Nasional (TN) Bali Barat. TN ini adalah habitat berbagai jenis burung khas Bali, primata, dan reptil. Welcome to The Jungle! Mata kami benar-benar fresh menyaksikan pepohonan sejuk di kanan di kiri kami dengan sesekali nampak air laut di sisi kiri. Jalanan mulus sepanjang TN membuat kami dengan cepat melewatinya. Aku kembali menegaskan kepada Mama untuk tidak terlalu memikirkan sejauh perjalanan yang masih harus kami tempuh karena hanya akan membuat mental down untuk melalui perjalanan ini. Sebaiknya kami fokus kepada setiap chapter beserta ceritanya masing-masing dan melihat kembali sejauh mana yang sudah kami capai.
Suasana di jalan utama TN Bali Barat |
Di ujung TN kami berhenti di sebuah monument perjuangan TNI dan menyempatkan diri untuk berfoto bersama artileri dari tahun 40-an. Seorang petugas menghampiri kami dan banyak bercerita tentang monumen beserta alat-alat perang tersebut. Ia sangat bangga dengan kualitas sejata buatan Rusia yang hingga usia ke-50 tidak ada karat sedikit pun. Namun ceritanya mulai ngelantur ketika membahas tentan para jendral bintang 4 hingga 5 yang sering berkunjung ke tempat ini dan akrab dengan dirinya. Khas wong cilik di negeri ini, terlalu membesar-besarkan kenalan. Selanjutnya kami berhenti di depan pos TN Bali Barat yng juga menjad pusat kegiatan outdoor dan bird watching. Jika ada waktu yang cukup tentu saja aku aka singgah lebih lama dan berburu foto unggas tersebut.
Kami mulai memasuki Desa Gilimanuk setelah sebuah pertigaan besar. Jalan ke arah timur laut tersebut adalah rute menuju Pantai Lovina, destinasi yang relatif baru di Bali dengan mengadalkan keelokan lumba-lumba. Kami berjalan terus ke arah barat laut kemudian berhenti di sebuah warung bertuliskan ‘Jawa Muslim’ untuk membeli makanan Bos. Di sekitar Negara – Gilimanuk memang populasi Jawa Muslim cukup banyak dan banyak warung selalu menuliskan identitas tersebut untuk memeberikan info konsumen akan makanan halal. Menu makan Bos kali ini adalah nasi + rawon yang nampak segar di lidahnya. Usai membayar makanan yang ternyata lebih mahal dari perkiraanku, kami pun melanjutkan perjalanan untuk mencari ATM dan memasuki kawasan Pelabuhan Penyebrangan Gilimanuk.
Chapter VI | Gilimanuk – Ketapang
Pelabuan Gilimanuk lebih ketat dibandingkan Lembar dan Padang Bai. Sebelum memasuki loket, kami harus menjalani pemeriksaan SIM dan STNK oleh polisi. Tapi pemerikasaan KTP tidak dilakukan padahal sebelumnya aku sudah meminta Mama untuk mempersiapkan KTP. Sejak peristiwa Bom Bali memang akses keluar masuk Bali (terutama dari Jawa) dibuat lebih ketat. Selanjutnya kami tiba di loket penyebrangan dan harus membayar sebesar Rp 124.000,- yang kurang lebih hanya sekitar 17% dari harga tiket penyebrangan Lembar – Padang Bai.
Tanpa antri kami langsung diarahkan untuk masuk sebuah kapal yang nampak hampir penuh. Kali ini kami mendapatkan parkir di baris paling belakang di deck paling bawah. Tidak masalah yang penting cepat berangkat. Sesuai plan kami tidak perlu menyewa kamar karena durasi perjalanan hanya sekitar satu jam. Kami langsung bergerak menuju lantai 2 dan memilih tempat duduk di ruangan dalam yang dilengkapi AC tepat di samping jendela kaca yang sangat besar. Dengan leluasa kami bisa melihat pemandangan di luar kapal. Menyenangkan juga berada di dalam kapal import bekas dari Jepang ini.
Sembari beristirahat kami menikmati pancake dan beberapa camilan ringan. Inilah saatnya istirahat bagi kami, juga bagi mobil karena sebentar lagi perjalanan berat menanti. Bagi sebagian orang perjalanan dasat seseungguhnya adalah jalur Banyuwangi – Sidoarjo/Surabaya. Di belakang tempatku duduk terdapat seorang lelaki saparuh baya yang dari mimik mukanya terlihat cukup ramah. Entah apa yang membuat kami memulai percakapa tetapi akhirnya ia pun bercerita tentng pengalama kerjanya. Mulai dari bekerja sebagai tukang bangunan di Denpasar hingga menjadi TKI di Maldives. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kami petik dari perjalaan hidupnya. Ia pun cukup bangga menceritakan daerah asalnya yang merupakan jalur utama pendakian menuju Kawah Ijen.
Perjalanan yang lancar mulai menemui hambatan. Kapal seolah hanya diam di tempat sekitar beberapa ratus meter dari dermaga. Terlihat sangat jelas dermaga Pelabuhan Ketapang Banyuwangi termasuk berbagai fasilitas disana misalnya tangki BBM berukuran besar dan terminal penumpang serta beberapa kapal besar yang sepertinya akan menuju ke Kalimantan terlihat dari tulisan Banjarmasin. Lelaki tersebut mengatakan bahwa hal ini sudah biasa terjadi. Sungguh tak habis pikir aku bahwa antrian masuk dermaga harus dilumrahkan. Entah berapa banyak BBM terbuang akibat manuver tanpa pergerakan ini. Apakah terlalu sulit mengatur schedule kapal yang sepintas tidak terlalu banyak ini?
Mari kita belajar dari film The Italian Job mengenai penggunaan tekonologi informasi untuk mengatur lampu lalu lintas sebuah kota. Hal itu bisa saja kita adopsi untuk mengatur schedule perjalanan kapal. Kita punya jutaan sarjana IT, instrumentasi, mekanikal, dan kelautan di negeri ini. Tak usah cari yang mahal karena aku yakin instrument dan algoritmanya tidak akan terlalu sulit, asalkan variabel datanya dibuat dan diinput dengan sempurna. Yang aku bayangkan adalah sebuah basis data dengan variable jenis kapal, estimasi waktu loading – unloading lengkap dengan standar deviasi, peta laut serta batas-batas imajiner misalnya radius manuver, data cuaca dan berbagai vaiable alam yang diperlukan, kecepatan yang bisa diturunkan lagi menjadi waktu menyerabrang bagi kapal ferry dan waktu meninggalkan area pelabuhan bagi kapal laut, konsumsi BBM setiap kapal, dsb. Semua itu harus dikalkulasi menjadi perintah jalan, tahan, dsb dengan pilihan prioritas misalnya efisiensi semua kapal atau memprioritaskan kapal tertentu dengan rumus yang telah ditetapkan hingga perhitungan detail BBM yang digunakan. Outputnya adalah persinyalan yang bisa berupa apapun untuk kapal yang menjadi tugas instrumentasi. Disinilah peran sinergi antar bidang. Mungkin mereka sudah punya aplikasi yang jauh lebih canggih dari ide konyolku ini. Tapi sudah jelas bahwa implementasinya nol.
Setelah berhenti sekitar setengah jam kapal akhirnya mulai bergerak mendekati dermaga Pelabuhan Ketapang Banyuwangi. Pada saat bersamaan beberapa kapal bergerak meninggalkan Pelabuhan Ketapang menuju arah utara dengan muatan truk besar dan sekitar ratusan sepeda motor baru. Kami pun mulai bergerak turun ke deck paling bawah sambil menyempatkan diri berfoto. Petualangan berikutnya mengarungi Taman Nasional (TN) Baluran siap kami mulai!
Chapter VII | Ketapang – Taman Nasional Baluran – Pasir Putih
Menunggu truk dan bus di depan kami keluar kapal memang cukup menguji kesabaran. Akhirnya tiba giliran mobil kami untuk keluar meninggalkan kapal dan mulai menginjakkan kaki di Pelabuhan Ketapang yang sepintas faslilitasnya paling lengkap di antara tiga pelabuhan yang sebelumnya kami lalui. Keluar dari gerbang pelabuhan kami pun berbelok ke kanan dan terus bergerak kea rah utara. Di sisi jalan terpampang beberapa baliho besar mengenai sebuah maskapai BUMN yang baru-baru ini membuka rute penerbangan dari dan ke Banyuwangi. Akhirnya kabupaten dengan sejuta potensi wisata ini dikelola dengan baik. Untuk wisata pantai sebut saja Plengkung G-Land & Red Islan yang sudah mendunia (baca disini). Tak bisa kita lupakan juga Pulau Merah dan berbagai pantai lain di sekitarnya. Untuk wisata pegunungan tentu saja Kawah Ijen adalah jaminan mutu bagi wisatawan asing. Masih banyak lagi potensi wisata Banyuwangi yang semogasaja bisa dikelola dengan baik untuk kemakmuran rakyat.
Setelah melewati terminal Bus Sri Tanjung kami pun berhenti di sebuah pom bensin. Secara teori mungkin bensin kami sudah cukup hingga Pasir Putih. Tapi kami tak mau mengambil resiko dan memilih untuk meambah cadangan bahan bakar. Di patok km sebelah kiri tertulis Surabaya 265 km dan Asem Bagus 50 km. sudah tentu Mama shock melihat jauhnya jarak yang masih harus kami tempuh. Tapi lagi-lagi aku mengingatkan bahwa kita tidak akan terlalu mengejar target dan jika pun ada target sebaiknya dibuat per chapter. Aku mencoba membuka gadget dan mendapati bahwa Asem Bagus adalah sebuah Kota Kecamatan sebelum Kota Situbondo. Sebenarnya dalam hati aku juga mulai down, mission impossible… bahkan dengan melaju 50 km saja kami belum akan mencapai Kota Situbondo.
Setelah meninggalkan pom bensin perjalanan terasa begitu cepat. Jalanan mulus membuat mobil bisa dipacu dengan kecepatan tinggi. Adzan dhuhur berkumandang ketika kami tiba di Kota Kecamatan Bajulmati yang berarti buaya mati. Setelah melewati wahana wisata Watu Dodol kami pun tiba di perbatasan Kabupaten Situbondo. Rupanya TN Baluran termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Situbondo.
Setelah melewati kantor dan pos TN Baluran maka kami mulai memasuki hutan kedua di hari ini. Berbeda jauh dengan TN Bali Barat, TN Baluran cenderung gersang dengan mayoritas pohon jati yang sebagian sedang meranggas. Kualitas jalan pun secara umum lebih buruk karena banyaknya gelombang di lapis perkerasan aspalnya. Beberapa bulan lalu aku pernah menyaksikan liputan di sebuah TV internasional tentang beberapa jenis banteng dan sapi liar di TN ini. Kami pun berharap bos bisa menyaksikan satwa-satwa itu berkeliaran bebas di habitat alaminya. Namun rupanya Bos tertidur pulas dan tak akan tega kam membangunkannya.
The Javanesse wildlife |
Tak kunjung bertemu dengan satwa liar kecuali primata |
Hingga sekitar 30 menit di dalam TN satwa yang kami jumpai hanya beberapa jenis primata. Mulai pupus sudah harapan menyaksinal mamalia khas TN Baluran. Tapi sesaat sebelum keluar dari batas TN Baluran kami tiba di sebuah savanna yang sangat luas seolah di negeri fantasi. Sesaat kemudian kawanan mamalia dengan tanduk dan ukuran tubuh yang sangat besar nampak sedang bergerombol dan menikmati makan siang bersama. Sunggu indah menyaksikan pemandangan ini, seolah menjadi oase di tengah beratnya perjalanan kami.
Usai keluar dari batas TN Baluran kami tiba di Kota Kecamatan Banyuputih. Inilah situasi khas pantura Jawa: gersang! Pepohonan tak rindang, sinar matahari terasa lebih menyengat, dan situasi kampung dan kota tidak terlalu ramai. Untungnya Mama dan Bos tertidur hingga aku terus bisa memacu mobil dengan kencang. Bagiku setidaknya kami bisa melewati Situbondo dengan segera. Setidaknya bisa keluar dari wilayah antah berantah ini sudah cukup membuatku lega.
Dengan kecepatan tinggi tentu saja jarak 50 km tak terlalu lama kami tempuh. Asembagus sudah kami lalui dan patok km mulai berganti dengan tulisan Situbondo 30 km. Bukannya menyerah aku malah tancap gas makin kencang mumpung Mama dan Bos belum juga bangun. Kecepatan 100 km/jam beberapa kali kami capai di rute ini. Inilah perjalanan darat sesungguhnya.
Ketika tiba di Kota Situbondo Bos terbangun dan secara teori kami harus berhenti. Namun aku meyakinkan Mama bahwa sebaiknya kami berhenti di Pasir Putih agar kesan wisata semakin terasa. Kuyakinkan bahwa pasir putih tak jauh. Usai Kota Situbondo patok km sudah berganti tulisan menjadi Besuki 30 km. Pasir Putih ada di antara Situbondo dan Besuki dan itu artinya paling-paling jaraknya maksimal hanya 20 km lagi. Deal! Kami kembali ngebut untuk segera mencapai Pasir Putih.
Menjelang Pasir Putih di depan kami mulai nampak perbukitan yang elok dipandang mata. Seingatku Pasir Putih memiliki tipikal seperti Senggigi, perpaduan bukit dan pantai. Memasuki kawasan Pasir Putih mulailah aku merasakan keraguan. Tak ada kesan menarik sedikit pun dimataku untuk berhenti. Pantai ini nyaris seperti sungai besar. Tentu saja hal itu terjadi karena kami hidup di Lombok. Mama pun menyampaikan pendapat yang sama. Panas dan tidak menarik! Hal itu diperparah dengan keterangan tiket masuknya yang jelas mengganggu mood kami. Setelah sempat ragu kami pun terus berjalan ke barat dengan target masjid yang rindang untuk shalat dan istirahat.
Kaki bukit itu adalah pemberhentian berikutnya |
Kami memasuki kampung nelayan yang gersang sambil sesekali terlihat Selat Madura yang tenang. Harapan kami untuk mencapai masjid untuk istirahat sesuai dengan kriteria tersebut nampaknya semakin sulit. Situasi semakin panas karena istirahat dan makan siang bagi Bos tidak bisa ditunda. Namun tak ada suatu hal yang mampu membuatku menginjak pedal rem mobil.
Itu dia! Mama berseloroh dan memaksaku mengerem mobil dengan mendadak kemudian kembali beberapa ratus meter hingga tibalah kami di sebuah masjid dengan pepohonan yang sangat rindang di sekitarnya. Oase di tengah pantura. Sungguh lega aku ketika mengetahui kami berada di titik 100 km dari Pelabuhan Ketapang pada pukul 13:45 WIB. Aku mengatakan kepada Mama bahwa perjalanan darat terberat sudah kami lalui. Mari kita istirahat sepuasnya disini.
Rencana shalat jama – qashar akhir kami batalkan karena mumpung di masjid kami shalat sekalian. Mama yang nampak kelaparan tak tahan untuk memintaku membelikan semangkuk Bakso Malang yang kebetulan melintas di depan masjid. Inilah Jawa sesungguhnya. Harga semangkuk bakso lezat ini hanya Rp5.000,- yang sebenarnya untuk ukuran Jawa Timur pinggiran tidak terlalu murah. Setelah shalat kami berjalan kaki menuju warung di depan masjid dan membeli dua buah nasi bungkus dengan ayam goreng dan air mineral 1500 ml dengan harga total Rp15.000,- ditambah bonus segelas air mineral dalam kemasan gelas yang dingin.
Sebenarnya masjid ini terletak di dalam komplek sebuah pondok pesantren. Di samping masjid terdapat sebuah madrasah yang kebetulan siang itu nampak sepi. Seorang santri yang aku temui di masjid mengatakan bahwa aktivitas madrasah di pagi hari sudah selesai dan baru akan dimulai setelah ashar. Rumah sang Kiai terletak di samping madrasah. Ibu penjual nasi mengatakan bahwa sekarang ini pimpinan pondok pesantren adalah sang Kiai mudah, sang ayah baru meninggal beberapa waktu lalu dan dimakamkan di belakang masjid.
Nasi rawon dari Gilimanuk tidak menarik Bos. Ia hanya menyantap telur yang kami peroleh dari dalam bakso dan beberapa suap nasi dan pancake. Secar gizi mungkin cukup, sekali lagi masalahnya adalah psikologi sebagai perut nusantara. Setelah berdiksusi panjang lebar kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan merencanakan untuk mencari makan terlezat dan ternyaman untuk Bos. Mungkin di Probolinggo.
Bersambung...
Chapter VIII | Pasir Putih – Kraksaan – Probolinggo
Chapter IX | Kota Probolinggo
Chapter X | Probolinggo – Sidoarjo
Ditulis Hamzah Maulana
Foto oleh Atiyya Inayatillah & Hamzah Maulana menggunakan kamera CANON Digital IXUS
Untuk petualangan kali ini senjata utama kami adala pocket camera Canon IXUS milik Mama karena lebi fleksibel digunakan. Sesekali bertemu dengan momen indah kami langsung mengambilnya dari kantong yang selalu kami bawa kemana pun kami pergi. Jau lebih fleksibel dibandingkan kamera DSLR dan fiturnya maupun asilnya lebih baik dibandingkan kamera smartphone.