Petualangan Syaathir | Jelajah Nusantara III (Lombok - Jawa Chapter I - IV) - Hamzah Maulana

Post Top Ad

Petualangan Syaathir | Jelajah Nusantara III (Lombok - Jawa Chapter I - IV)

Petualangan Syaathir | Jelajah Nusantara III (Lombok - Jawa Chapter I - IV)

Share This
Halo Om, Tante, Kakak, Kakek, Nenek, dsb…   kali ini episode petualangan kami adalah perjalanan Lombok – Sidoarjo menggunakan mobil pribadi. Di dalam cerita ini akan tersaji lebih dari sekedar cerita perjalanan dari secuail wilayah nusantara, tetapi juga sekilas catatan tentang Indonesia. Mari kita simak petualanganku yang sementara masih ditulis oleh dan dengan sudut pandang ayah. Kelak ketika sudah bisa membaca aku harus membaca cerita ini dan menggali berbagai hal dari petualangan yang sebenarnya aku jalani sendiri ketika masih berusia 20 bulan bersama dua tokoh utama lainnya yaitu Ayah dan Mama.
-Syaathir Ahlami Hamzah (Bos)-



Ditulis Hamzah Maulana
Foto oleh Atiyya Inayatillah & Hamzah Maulana menggunakan kamera CANON Digital IXUS

Keindahan gili-gili di barat daya Lombok

Rute perjalanan chapter I - IV


Chapter I  |  Gunung Sari – Lembar

Secara de jure kami cukup terlambat untuk berangkat. Rencana berangkat setelah subuh—yang sempat direvisi menjadi lebih realistis menjadi pukul 7:00 WITA—pada akhirnya baru terealisasi pukul 9:30 WITA. Malam hari sebelumnya kami masih terlalu sibuk mengurus bisnis Pancake Durian dan proses revitalisasi asisten rumah tangga (lebih detailnya adalah proses PHK dan persiapan perekrutan personel baru) serta berbagai plan untuk GILI. Kami terlalu lelah malam itu hingga berbagai persiapan baru kami lakukan pada pagi ini. Membersihkan rumah, memasak perbekalan sekaligus menghabiskan semua bahan makanan yang akan rusak ketika kami tinggal selama 3 minggu, hingga menata ulang rumah karena akan disewa oleh beberapa teman saat liburan super longweekend pekan depan. Tapi secara de facto tidak ada yang terlambat karena memang kami tidak terlalu mengejar target. Begitulah Mama mencoba menghibur kami.

Semua bahan kue yang tersisa di rumah tidak kami sisakan untuk membuat pancake dalam arti sesungguhnya yang tebal dan mengenyangkan. Dengan tambahan selai strawberry dan keju, peran pancake ini akan sangat vital sebagai camilan berbobot yang juga bisa sebagai bahan makanan pokok. Kandungan gizi ketiga makanan itu jelas sudah cukup memberikan energi. Hanya saja bagi perut nusantara sudah tentu tidak menyenangkan. Tugaskulah untuk membuat pancake karena Mama masih sibuk membersihkan rumah. Terletak di sebuah bukit di Gunung Sari yang merupakan persimpangan antara Senggigi - Pusuk Pass yang juga akses ke Gili Trawangan – dan Kota Mataram, rumah ini sangat potensial untuk dijadikan rumah singgah bagi para wisatawan terutama wisatawan dengan lo budget hi movement. Jadi semua barang probadi kami mulai dari pakaian hingga mainan Bos sebisa mungkin kami masukkan ke dalam lemari dan karud besar. Yang tersisa di luar hanyalah barang-barang yang bisa digunakan oleh tamu misalnya Televisi, lemari es, kompor, dispenser, buku dan majalah, sepeda, kasur + bantal guling, selimut, dsb.

Perjalanan kami dimulai dengan mampir ke tempat sampah umum di dekat Bandara Selaparang. Ya, sampah memang menjadi persoalan utama kami. Setidaknya di perumahan dan kampung sekitar  belum ada jasa distribusi sampah. Hal ini sempat menarik perhatian kami untuk menanganinya terinspirasi oleh Pak Imam Hariadi Sasongko, orang tua ketiga kami. Entah apa yang dilakukan oleh pemerintah khususnya Dinas Kebersihan Lombok Barat. Tapi setidaknya di berbagai titik yang sering dijadikan tempat pembuangan sampah oleh masyarakat selalu terpasang papan peringatan ‘Dilarang Membuang Sampah Di Tempat ini’ dengan signature institusi tersebut. Tetapi solusinya bagi masyarakat? Dibakar atau lempar ke sungai atau tempat strategis lain! Bagiku solusi sementara adalah membungkus sampah dengan rapi di dalam kantong plastic besar kemudian memasukkannya di dalam bagasi mobil dan dengan cepat langsung menuju tempat sampah umum dengan jarak hanya sekitar 2 km yang disediakan oleh dinas yang nama depannya sama tetapi nama belakangnya berbeda yaitu Kota Mataram.


Selanjutnya Kami melewati jalan Udayana yang pada masa-masa awal bisnis Pancake Durian Lombok menjadi salah satu ladang penjualan. Berbelok ke timur kami menyusuri Jalan Pejanggik yang menjadi icon Kota Mataram. Di sinilah berdiri berbagai bangunan utama mulai dari satu-satunya Mal hingga Kantor Gubernur. Mobil kami mulai melambat ketika memasuki wilayah Cakranegara yang selalu sibuk dan padat. Secara sosial ekonomi Mataram adalah gabungan antara dua kota yaitu Cakranegara yang terletak di sebelah timur dan Ampenan di pesisir Barat. Cakranegara menjadi salah satu pusat perekonomian utama di Lombok yang didominasi oleh pedagang keturunan Cina dan masyarakat yang beragama Hindu. Sedangkan Ampenan sebagian masyarakatnya adalah Keturunan Timur Tengah serta gabungan berbagai etnis. Itulah yang menjadikan kota Mataram sungguh berwarna.

Dari pusat kota Cakranegara kami berbelok dan terus bergerak ke selatan. Kami berhenti di sebuah minimarket untuk membeli air minum dan beberapa camilan ringan. Tak lama setelah melewati monumen Lombok Barat Bangkit kami tiba di Kota Gerung yang merupakan ibukota Kabupaten Lombok Barat. Tiba-tiba di ban belakang mobil terasa ada sesuatu yang mengganjal meskipun mobil masih bisa kuajak lari kencang. Kami memutuskan berhenti dan memeriksanya. Sebuah potongan paku menancap di ban belakang sebelah kanan tetapi tidak sampai menyebabkan kebooran dan langsung teratasi dengan singkat di bengkel yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari tempat kami berhenti. Puluhan hingga ratusa kali aku keliling Lombok termasuk di wilayah Gerung, tetapi baru kali ini aku mengalami kejadian seperti ini. Memang pernah ban mobilku tertutuk benda tajam tetapi itu terjadi di dekat rumah akibat ada material berserakan di proyek dekat komplek perumahan. Mungkin kejadian ini adalah tembahan cerita yang membuat perjalanan terasa semakin dinamis.

Kami tiba di Pelabuhan Lembar dan langsung membeli tiket penyebrangan. Petugas loket cukup ramah namun juga cukup tegas menyebutkan nominal Rp733.000,- sebagai biaya penyebrangan sebuah mobil pribadi termasuk penumpang di dalamnya. Inilah atu hal yang membuat Bali – Lombok seolah terpisah jauh, setidaknya bagi kami. Jauhnya perjalanan laut serta mahalnya biaya penyebrangan membuat kami tidak bisa sesuka hati jalan-jalan ke Bali dengan mobil pribadi. Tapi itu belum seberapa jika dibandingkan titik penyebrangan lain di nusantara. Sepertinya penyebrangan kali ini akan terasa menyenangkan karena antrian penumpang di dermaga keberangkatan terlihat sangat sedikit. Mobil dan sepeda motor pun hanya ada beberapa termasuk sepasang wisawatan asing dengan sepeda motor dan surfboard yang tergantung di sampingnya. Sekitar 10 menit kami menunggu hingga akhirnya seorang petugas mengarahkan kendaraan bermotor untuk masuk ke kapal.

Akhirnya tiba giliran kami masuk ke dalam kapal


Chapter II  |  Lembar – Padang Bai

Usai memarkir mobil di bagian paling depan deck paling bawah kapal, seorang petugas langsung menawari kami untuk menyewa kamar. Hal itu memang sudah masuk plan kami karena mustahil 4 – 5 jam di tempat umum dengan berbagai aktivitas yang salah satunya adalah tidur dan menyusui. Kami langsung diajak naik ke deck paling atas dan deal dengan harga Rp70.000,- untuk kamar nahkoda dengan fasilitas AC, TV dan DVD lengkap dengan puluhan koleksi film, privasi khusus karena bukan deck umum termasuk balkon untuk menikmati panorama luar, serta kamar mandi khusus perwira tepat di sebelahnya. Harga yang cukup pantas tetapi sebenarnya bisa aku nego lebih murah lagi daripada hanya turun 30% dari harga penawarannya. Aku sedang malas nego terlalu dalam dan yang penting segera masuk ke dalam kamar yang nyaman.

Aktivitas pertama tentu saja memilih film setidaknya untuk membuat suasana kamar menjadi lebih hidup. Setelah melalui proses pemilihan yang ketat, The Company of Heroes akhirnya menjadi film pertama yang kami putar. Sebuah misi rahasia sekutu untuk menggagalkan proyek bom atom Nazi di Kota Stuttgart. Berbagai referensi menyatakan ‘entah apa jadinya dunia ini jika Nazi yang lebih dulu menyelesaikan proyek Bom Atom?’

Keindahan landscape di sekitar Lembar
Tentu saja aktivitas Bos adalah makan siang yang ia selesaikan dengan sangat baik tanpa ada aksi mogok makan. Perut kenyang sebenarnya saat yang tepat baginya untuk tidur. Tapi rupanya ia memang petualang sejati dan lebih memilih untuk menikmati pemandangan di luar kapal dari jendela. Lembar terletak di sebuah teluk yang sangat strategis dengan sisi selatan tertutup penuh dan sisi barat yang juga nyaris tertutup oleh daratan. Ombak dan angin manjadi jinak di pelabuhan ini, akan berbeda ceritanya jika pelabuhan diletakkan di pesisir barat-tengah Lombok misalnya Ampenan. Perlu waktu beberapa puluh menit bagi kapal buatan Jepang ini untuk meninggalkan teluk tersebut. Selanjutnya kami berada di bagian utara Sekotong dan seolah sedang berada di atas kapal pesiar. Garis pantai yang sangat putih adalah hiburan utama di penyebrangan ini. Beberapa saat kemudian terdapat beberapa gili (pulau kecil). Kamera sudah tentu tak lepas dari tanganku. Lengkap sudah karena beberapa bulan lalu aku pernah berhasil meng-capture pulau-pulau di barat daya Lombok ini dari pesawat, Namun sayangnya kami belum sempat menjelajahi wilayah tersebut. Pesisir barat – tengah yaitu Ampenan – Senggigi pun terlihat dari sisi kanan kapal.  Sungguh Lombok memang indah nyaris di semua sisi.

Inilah nusantara!
Ampenan & Senggigi terlihat dari kapal
Memasuki jam kedua kami sudah berada di laut lepas dalam artian di sebelah selatan kami tidak ada lagi daratan dan kapal ini akan memperoleh efek langsung dari ganasnya Samudra Hindia. Untungnya saat itu Bos sudah berhasil ditidurkan hingga kekhawatiran kami mengenai kemungkinan ia mabuk laut pun sirna. Pada hari yang secara umum gelombang laut relatif tenang pun perut kapal terasa terus bergoncang. Tapi inilah menariknya perjalanan laut sesungguhnya. Usai shalat dhuhur kami harus memilih film berikutnya. Real Steel adalah film yang akhirnya kami putuskan untuk kami tonton ulang sambil melakukan berbagi hal luar biasa di dalam kamar ketika Bos sedang tertidur lelap J.

Lautan lepas dengan hanya segaris horizon
Goncangan mulai mereda ketika sebuah pulau besar terlihat tepat di sebelah selatan kami. Itulah Pulau Nusapenida yang sudah masuk ke dalam wilayah Provinsi Bali. Sekilas secara visual garis Pantai utara Nusapenida tidak seputih Sekotong meskipun aku yakin di sisi selatan yang mengahdap ke Samudra Hindia akan lain situasinya. Hal ini membuatku semakin penasaran untuk menjelajahi pulau tersebut, suatu hari nanti.


Nusapenida island
Welcome to Bali!
Ketika robot Atom milik ayah dan anak Kenton mulai mendapatkan undangan untuk bertarung di WRB, pulau Bali semakin terlihat jelas di depan kami. Saat itu pula Bos terbangun dari tidurnya dan kami pun mulai berkemas. Sungguh beruntung penyebrangan ini lancar dan cepat. Jika durasi rata-rata sebuah film Hollywood adalah 120 menit, maka total perjalanan ini sekitar 3 jam terdiri dari 1,75 durasi film + asumsi diskusi memilih film. Tak lama kemudian dari pengeras suara diumumkan bahwa dalam waktu beberapa menit lagi kapal akan berlabuh di dermaga Pelabuhan Penyebrangan Padang Bai Bali. Kami menyempatkan diri untuk berfoto di deck atas yang seolah menjadi milik pribadi kami sebelum kemudian turun menuju tempat parkir mobil. Mesin mobil sudah dinyalakan dan kami siap menjelajahi Pulau Bali!


Chapter III  |  Padang Bai – Kuta

Rasanya ada energi luar biasa saat menginjak pedal gas mobil di atas aspal jalan nasional yang menghubungkan Padang Bai dengan Denpasar. Inilah untuk pertama kalinya keluarga kecil kami berpetualang di Pulau Bali. Pepohonan yang rindang selepas Padang Bai ditambah pemandangan pura di setiap rumah membuat rasa kantuk menjadi hilang. Beberapa penjual ikan laut di sisi jalan semakin membuat suasana melancong semakin terasa. Puncaknya adalah ketika kami melihat penjualn Durian Bali berjajar di sepanjang jalan. Namun sayangnya jenis duran yang dijakakan tidak lebih baik dari durian di sekitar Pusuk yang biasa kami gunakan sebagai komoditi bisnis. Tapi aku tak yakin durian di sekitar Padang Bai ini bisa menggeneralisir durian dari Pulau Bali.

Usai melewati lokasi wisata Gua Lawa, jalan dua jalur dua lajur ini akhirnya berbuah menjadi jalan besar dua jalur empat lajur dengan median. Rasanya kami mulai disambut dengan kekuatan infraturktur Bali sebagai destinasi wisata yang memang telah mendunia. Satu hal yang membuatku kagum meskipun di sepanjang jalan tersebut terdapat sangat banyak perempatan dengan lampu lalu lintas, tetapi semuanya tertib. Ditambah lagi selalu terdapat rambu penunjuk jalan resmi yang menujukkan destinasi wisata meskipun tidak terkenal. Berturut-turut kami disuguhi petunjuk jalan ke kiri berbagai pantai yang seagian besar asing di dalam kamus kami. Sisi kanan pun tak kalah dengan icon Bali Safari Park. Siang yang panas pun terasa menyenangkan.

Meskipun jalan raya yang sangat istimewa ini dibuat dengan perkerasan beton yang tentu saja mengurangi kenyamanan berkendara, namun kecepatan mobil tepat stabil cepat rata-rata 70 – 80 km/jam. Tak lama kami sudah sampai di Denpasar Timur dan petunjuk jalan menuju Pasar Sukowati ke arah utara. Sempat tergoda namun kami tetap melanjutkan perjalanan menuju Kuta. Memasuki kota Denpasar kami sedikit mengalami salah jalan atau bisa disebut kesasar akibat adanya masalah dengan gadget android-ku. Berbekal rambu penunjuk jalan dan aplikasi GPS amatir dari Blackberry kami pun mulai kembali ke jalur yang benar menuju Kuta.

Menyusuri jalan-jalan utama di Kota Denpasar diantaranya Jl. Hang Tuah, Jl. Puputan Niti Mandala Raya, Jl. Teuku Umar kami menyaksikan kemegahan ibu kota Bali ini. Kantor-kantor instansi pemerintah dan swasta berjajar rapi di sisi kanan dan kiri jalan yang rindang dengan taman kota yang selalu terjaga. Mal dan pertokoan pun nampang elok dengan arsitektur khas Bali. Seandainya daerah lain juga menerapkan perda di dalam pengurusan IMB agar bangunan publik harus dibuat dengan desain tradisinoal untuk terus melestarikan budaya dan kearifan lokal.

Sejatinya kami sudah keluar Kota Denpasar dan mulai memasuki Kabupaten Badung. Hanya saja batas kota memang tak jelas karena nuansanya hampir sama yaitu keramaian. Menjelang Kuta berbagai hotel mulai berbaris seolah berlomba menawarkan harga dan fasilitas terbaiknya. Kami memasuki Jl. Legian dari arah Jl. Patih Jelantik – Jl. Sriwijaya yang menurut Mama sering dijadikan tempat shooting film (sinetron?) dan terdapat berbagai galeri seni.

Tibalah kami di salah satu icon utama Bali yaitu Jl. Legian yang sempat mengalami peristiwa pemboman pada 2002 dan 2004. Nyaris dari semua sudut pandang, Jl. Legian ini sangat menarik! Di sisi kanan dan kiri hotel berjajar rapi berbagai store merk terkenal yang kebanyakan dari luar negeri. Beberapa hotel dan restoran/café juga menjadi pemandangan utama yang disempurnakan dengan wisatawan asing yang berjalan kaki. Mobil kami mungkin hanya sanggup berjalan dengan kecepatan rata-rata 5 km/jam saat melewati jalan ini karena sekali jalan tak lebih dari 5 meter yang ditempuh kemudian berhenti lagi selama beberapa menit. Lebar jalan nyaris penuh dengan dua mobil berjajar dan tentu saja parkir mobil dan sepeda motor di pinggir jalan diharamkan. Kemungkinan parkir di jalan ini hanya di hotel. Ingin rasanya berjalan kaki di Legian, namun tak kunjung menemukan tempat parkir hingga kami pun tiba di Pantai Kuta. Di pintu selatan Pantai Kuta pun parkir mobil dan sepeda motor penuh hingga kami harus menyusuri Jl. Pantai Kuta terus ke Utara hingga menemukan tempat parkir tak jauh dari Sunset Hotel.


Ground Zero
Sunset time! Lupakan Legian dan jauhnya berjalan kaki kesana sambil menggendong Bos. Kami pun melangkahkan kaki memasuki Pantai Kuta yang memang tiada duanya. Hamparan pasir putih lembut membetang dari ujung selatan hingga terus ke Utara sekitar Seminyak. Memang lebih indah pasir merica di Lombok, tapi mungkin lebih nyaman pasir jenis ini. Dari sisi ombak juga sedang karena masih memperoleh efek langsung dari Samudra Hindia dari arah barat daya namun dari sisi selatan masih terlindungi oleh bagian kaki Pulau Bali—Jimbaran & Pecatu. View sempurna untuk menikmati sunset karena pantai ini menghadap ke arah barat. Sekali lagi mungkin dari sisi landscape lebih unggul Senggigi dengan perpaduan pantai dan bukitnya. Namun eksotisme Kuta adalah perpaduan dari elemen alam yang disempurnakan oleh hingar bingar kehidupan pantai internasional dan beberapa elemen buatan. Fasilitas sudah tentu menjadi yang terlengkap di Indonesia dengan berbagai brand hotel, kuliner, dan goods terkenal.

Aku sibuk memotret aktifitas surfing, Mama sibuk selfie dan bergaya bak remaja, sedangkan Bos sibuk bersantai dengan gayanya yang khas sambil memandangi kawan-kawan seumurannya dari berbagai negara yang sedag berenang. Disinilah kami menyaksikan betapa budaya berniteraksi dengan alam sangat ditanamkan oleh masyarakat dari negara-negara ‘barat’. Bocah yang kira-kira seusia pun 4 - 5 tahun sudah mencoba berselancar di ombak yang tidak bisa dibilang kecil dengan dibantu orang tuanya yang memegang tali kendali papan tersebut. Di sisi lain kami melihat beberapa wisatawan asing seolah sedang membuat film. Dua hal tersebut sangat menarik dibandingkan lalu lalangnya remaja-remaja Indonesia yang berpakaian minim yang dengan mentah bergaya bule dan seolah sama sekali tak kenal norma ketimuran. Tak terasa matahari pun sudah hampir tenggelam sepenuhnya dan kami harus melanjutkan perjalanan.

Betapa sulitnya mencari tempat parkir di Kuta
Insahnya sunset di Kuta

Chapter IV  |  Kuta – Negara

Mengejutkan sekali ternyata parkir mobil di Kuta tidak ditarik biaya. Mungkin masyarakat Bali tidak mau bermain ‘uang receh’ seperti itu. Devisa wisata dikelola dengan baik, tidak seperti daerah lain termasuk Lombok yang persoalan parkir pun masih menjadi andalan utama masyarakat sekitar.

Kami harus kembali ‘ke jalur yang benar’ yaitu jalan nasional Denpasar – Gilimanuk. Singkatnya kami sudah melenceng hingga 15 km di sebelah selatan jalur tersebut. Kami pun mantap memutuskan untuk berpatokan pada plan awal yaitu bermalam di Negara. Setidaknya di hari pertama ini kami ingin ada perjalanan berarti. Jika harus bermalam di Kuta maka hari kedua akan menjadi sangat berat. Biarlah kami berlibur sepuasnya di Bali saat kembali nanti atau di lain kesempatan.


Memasuki Jl. Seminyak perjalanan relatif mulai lancar. Secara umum strukturnya sama dengan Jl. Legian namun sedikit lebih lebar dan keramaiannya pun berkurang. Pemandangan di sisi kiri dan kanan jalan hampir sama dengan didominasi oleh hotel, restoran/café, dan toko. Namun jenis barang yang dijual disini mulai berbeda. Di Seminyak mulai banyak kerajinan lokal yang sangat elegan dan puncaknyanya adalah sebuah butik milik Ni Putu Jelantik. Sedangkan untuk produk fashion internasional tidak melulu didominasi oleh merk surf appreal tetapi lebih banyak butik dengan berbagai spesifikasi jenis pakaian mulai dari gaun pengantin hingga bikini. Kami cukup terinspirasi oleh kerajinan dari kerang yang dibentuk menjadi semacam lampu elegan dengan ornamen alami.

Usai maghrib kami mulai meninggalkan area wisata tersebut namun jalanan tidak serta merta menjadi sepi. Jika tingkat kerumitan jalanan di Jakarta memperoleh nilai 10 (skala 0 – 10) maka Bali setidaknya satu tingkat di bawahnya. Kerumitan jalanan ini diperparah dengan adanya upacara adat Galungan & Waisak yang membuat beberapa ruas jalan harus ditutup. Tantangan yang semakin nyata untuk menaklukkan jalanan Badung. Untuk urusan perut Bos masih tersedia perbekalan, sedangkan bagi kami disinilah peran pancake sebagai camilan berat pengganjal perut. Berhenti untuk makan di sekitar Badung yang rumit bukan pilihan. Bagi kami sebagiknya terus berjalan sambil ngemi pancake dan di Negara nanti kita akan makan malam lezat dengan kondisi bada segar.

Kami berhenti di sebuah bensin beberapa saat sebelum tiba di jalan nasional di sekitar Mengwi. Inilah pertama kalinya kami mengisi bensin di perjalanan ini karena perjalanan Lombok – Denpasar masih bisa dilayani dari sisa bensin yang ada. Melihat kamar mandi yang bersih kami memutuskan untuk memandikan Bos. Inilah Bali-Jawa dimana pom bensin seringkali menjadi tempat peristirahatan yang cukup nyaman. Memandikan Bos disini pun tidak disertai dengan perlawanan berarti. Ia mandi dengan ceria. Badan segar, bersiaplah tidur dan melanjutkan perjalanan berikutnya Bos!

Lega rasanya bertemu dengan bus-bus dan truk-truk besar. Akhirnya kami tiba di jalan nasional Denpasar – Gilimanuk dan tak lagi bergantung kepada gadget. Jalanan lebar membuat kami mau tidak mau harus menyesuaikan kecepatan. Rasanya Kota Negara akan dicapai dengan mudah meskipun aku sempat melihat patok km di kiri jalan yang tertulis Gilimanuk 106 km. Setelah kuestimasi jarak dari titik tersebut ke Negara adalah sekitar 80 km.

Perjalanan mulai terasa sulit usai kami melewati Tabanan. Jalanan mulai menyempit sehingga lalu lintas terasa padat. Diperparah dengan topografi naik – turun dan banyaknya tikungan serta adanya proyek pembuatan fly over pada beberapa titik, kecemasan mulai menghinggapi Kami. Mama mulai mengungkit bahwa Negara memang jauh karena ia terpengaruh cerita dari teman ibunya yang bekerja di PA Negara. Aku mencoba tenang namun tetap cemas dan merasa bersalah karena aku mulai sadar bahwa di perjalanan ini bukan hanya aku yang bekerja keras sebagai driver, tetapi juga Mama yang harus memangku Bos, dan Bos yang tidak bisa tidur dengan posisi optimal. Menggunakan baby car seat pun bukan pilihan buat Bos karena ia tidak bisa bergerak bebas. But the sow must go on. Berhenti dan mencari hotel di sekitar sini bukan pilihan yang baik karena kami relatif tidak berada di suatu kota, sedangkan kembali ke Denpasar jelas konyol. Aku jadi ingat beberapa kali aku menempuh Jalur Denpasar – Gilimanuk sejak beberapa tahun lalu selalu saja menghadapi kondisi seperti ini di Tabanan. Tak kubayangkan jika harus melewati daerah ini pagi atau siang hari dimana kepadatan arus lalu lintas harus berpadu dengan berbagai aktivitas masyarakat setempat misalnya pasar dsb.

Seringkali aku harus mempertahankan persneling mobil di gigi 1 ketika melewati jalan menanjak karena di depan kami ada truk besar yang berjalan dengan sangat lambat. Mobil kami yang bertipe hatchback compact nampak mini disbanding raksasa jalanan seperti truk dan bus besar. Ketika jalan baru yang sedang dikerjakan nanti sudah selesai waktu tempuh Denpasar – Gilimanuk sudah tentu akan menjadi lebih singkat. Di sinilah peran infrastruktur sebagai penopang distribusi logistik maupun wisata.

Perjalanan menjadi lebih cepat ketika kami kembali di pesisir patai selatan dan topografi jalan menjadi lebih ramah yang berdampak pada jalanan terkesan lebih lapang. Aku sempat mencoba mengecek peta di gadget dan mendapat bahwa kami sudah berada di setengah perjalanan menuju Negara. Tentu saja kecepatan harus kutingkatkan untuk segera mencapai Negara. Bos pun mulai tampak tertidur semakin lelap.

Sekitar satu jam kemudian kami merasa seharusnya sudah tiba Negara tapi tak kunjung mendapati gerbang kota atau berubahnya situasi dari kegelapan hutan – sawa menjadi kota. Sempat terjadi perdebatan dengan Mama yang berargumentasi bahwa Kota Negara sudah terlewati dan mungkin tak lama lagi kami akan sampai di Gilimanuk. Tapi pendapat itu sirna dengan mulai banyaknya papan nama resort di sebelah kiri kami dan rambu-rambu ke arah pantai. Tak lama kemudian tibalah kami di gerbang Kota Negara dan harapan untuk segera tidur di atas kasur empuk pun akan segera terwujud.

Sebenarnya sejak di Badung aku sudah menelepon sebuah hotel yang kupilih secara teoritis dari daftar hotel di websit Kabupaten Jembrana. Teoriku adalah mencari hotel yang lokasinya di jalan utama. Hotel Jati kupilih karena terletak di Jl. Udayana yang juga terletak di jalur nasional. Tapi sejak tiba di kota negara kami mulai kehilangan arah akibat tak kunjung menemukann Jl. Udayana dan seolah jalan itu fiktif dan hanya ada di google map. Sempat putus asa kami sempat mencoba mampir ke beberapa hotel yang juga tak memuaskan dari sisi harga dan fasilitas serta beberapa sudah tutup. Kami pun bertanya ke beberapa orang satpam di depan sebuah Bank Swasta. Rupanya memang baru terjadi pergantian nama jalan di Kota ini sehingga aplikasi map belum bisa mengakomodasinya. Seorang satpam memberikanku petunjuk bahwa Hotel Jati lurus saja ke barat sampai sungai ketiga. Aku jadi teringat dengan Robi Navicula yang pernah mehyatakan bahwa sungai adalah sumber energi dan di dalam adat Bali harus dihormati. Bapak itu pun memberikan petunjuk dengan acuan sungai, bukan gedung, bukan kilometer, bukan tikungan sebagai bukti akan penghormatan terhadap kearifan lokal.

Tepat sekitar pukul 22:00 WITA Kami tiba di Hotel Jati. Terbayar sudah perjuanangan kami menemukan hotel Jati  karena sejak di gerbang masuk dan receptionist terlihat sangat nyaman. Kami berhasil mencapai target geografis, tapi gagal mencapai target waktu karena terlalu malam bersitrirahat di hari pertama ini. Puas rasanya melihat kamar yang cukup besar dengan kamar mandi dalam serta 2 singel bed lengkap dengan TV dan penyejuk ruangan serta teras yang cukup lebar dan mobil kami bisa diparkir tepat di depan kamar. Struktur hotel ini adalah bangunan-bangunan berukuran sedang yang tersebar tidak simetris dan masing-masing dibagi menjadi dua kamar. Untuk urusan harga Bali memang rajanya hotel. Kelas AC hotel ini dibanderol dengan harga Rp150.000,- sedangkan kelas fan dengan luas dan fasilitas yang sama hanya Rp75.000,- dengan bonus sarapan pagi untuk dua orang.

Welcome drink dua gelas the hangat kami lahap dengan nikmat, kemudian mandi dan pergi keluar hotel untuk mencari makan malam. Aku membeli makan pesanan Mama yaitu nasi goreng di dekat pusat Kota Nagara. Tapi ketika tiba di hotel justru aku mendapati kontradiksi. Mama tertidur lelap dalam kondisi belum mandi dan berganti pakaian, sedangkan Bos nampak full battery dan sedang bermain sendiri. Akhirnya aku menikmati makan malam bersama dengan Bos. Beberapa suap nasi dan telur berhasil masuk ke dalam mulutnya. Setelah itu aku tidur dan Bos kembali menjadi tanggung jawab Mama. Konon malam itu usai makan malam, Mama tidak berhasil menidurkan Bos dan Bos tetap bermain sendiri hingga akhirnya ketiduran.


Bersambung ke Capter VI



Untuk petualangan kali ini senjata utama kami adala pocket camera Canon IXUS milik Mama karena lebi fleksibel digunakan. Sesekali bertemu dengan momen indah kami langsung mengambilnya dari kantong yang selalu kami bawa kemana pun kami pergi. Jau lebih fleksibel dibandingkan kamera DSLR dan fiturnya maupun asilnya lebih baik dibandingkan kamera smartphone.
CANON Digital IXUS 135 - Black




No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Pages