Halo Om,
Tante, Kakak, Kakek, Nenek, dsb… kali
ini episode petualangan kami adalah perjalanan Lombok – Sidoarjo menggunakan
mobil pribadi. Di dalam cerita ini akan tersaji lebih dari sekedar cerita
perjalanan dari secuail wilayah nusantara, tetapi juga sekilas catatan tentang
Indonesia. Mari kita simak petualanganku yang sementara masih ditulis oleh dan
dengan sudut pandang ayah. Kelak ketika sudah bisa membaca aku harus membaca
cerita ini dan menggali berbagai hal dari petualangan yang sebenarnya aku jalani
sendiri ketika masih berusia 20 bulan bersama dua tokoh utama lainnya yaitu
Ayah dan Mama.
-Syaathir
Ahlami Hamzah (Bos)-
Ditulis Hamzah Maulana
Keindahan gili-gili di barat daya Lombok |
Secara de jure kami cukup
terlambat untuk berangkat. Rencana berangkat setelah subuh—yang sempat direvisi
menjadi lebih realistis menjadi pukul 7:00 WITA—pada akhirnya baru terealisasi
pukul 9:30 WITA. Malam hari sebelumnya kami masih terlalu sibuk mengurus bisnis
Pancake Durian dan proses revitalisasi asisten
rumah tangga (lebih detailnya adalah proses PHK dan persiapan perekrutan personel
baru) serta berbagai plan untuk GILI.
Kami terlalu lelah malam itu hingga berbagai persiapan baru kami lakukan pada
pagi ini. Membersihkan rumah, memasak perbekalan sekaligus menghabiskan semua
bahan makanan yang akan rusak ketika kami tinggal selama 3 minggu, hingga
menata ulang rumah karena akan disewa oleh beberapa teman saat liburan super longweekend pekan depan. Tapi secara de facto tidak ada yang terlambat karena
memang kami tidak terlalu mengejar target. Begitulah Mama mencoba menghibur
kami.
Semua bahan kue yang tersisa di rumah tidak kami sisakan untuk
membuat pancake dalam arti
sesungguhnya yang tebal dan mengenyangkan. Dengan tambahan selai strawberry dan
keju, peran pancake ini akan sangat vital sebagai camilan berbobot yang juga
bisa sebagai bahan makanan pokok. Kandungan gizi ketiga makanan itu jelas sudah cukup
memberikan energi. Hanya saja bagi perut nusantara sudah tentu tidak
menyenangkan. Tugaskulah untuk membuat pancake
karena Mama masih sibuk membersihkan rumah. Terletak di sebuah bukit di
Gunung Sari yang merupakan persimpangan antara Senggigi - Pusuk Pass yang juga
akses ke Gili Trawangan – dan Kota Mataram, rumah ini sangat potensial untuk
dijadikan rumah singgah bagi para wisatawan terutama wisatawan dengan lo budget hi movement. Jadi semua barang
probadi kami mulai dari pakaian hingga mainan Bos sebisa mungkin kami masukkan
ke dalam lemari dan karud besar. Yang tersisa di luar hanyalah barang-barang
yang bisa digunakan oleh tamu misalnya Televisi, lemari es, kompor, dispenser, buku
dan majalah, sepeda, kasur + bantal guling, selimut, dsb.
Perjalanan kami dimulai dengan mampir ke tempat sampah umum di
dekat Bandara Selaparang. Ya, sampah memang menjadi persoalan utama kami.
Setidaknya di perumahan dan kampung sekitar
belum ada jasa distribusi sampah. Hal ini sempat menarik perhatian kami
untuk menanganinya terinspirasi oleh Pak Imam Hariadi Sasongko, orang tua
ketiga kami. Entah apa yang dilakukan oleh pemerintah khususnya Dinas
Kebersihan Lombok Barat. Tapi setidaknya di berbagai titik yang sering
dijadikan tempat pembuangan sampah oleh masyarakat selalu terpasang papan
peringatan ‘Dilarang Membuang Sampah Di Tempat ini’ dengan signature institusi tersebut. Tetapi solusinya bagi masyarakat? Dibakar
atau lempar ke sungai atau tempat strategis lain! Bagiku solusi sementara
adalah membungkus sampah dengan rapi di dalam kantong plastic besar kemudian
memasukkannya di dalam bagasi mobil dan dengan cepat langsung menuju tempat
sampah umum dengan jarak hanya sekitar 2 km yang disediakan oleh dinas yang
nama depannya sama tetapi nama belakangnya berbeda yaitu Kota Mataram.
Selanjutnya Kami melewati jalan Udayana yang pada masa-masa awal
bisnis Pancake Durian Lombok menjadi salah satu ladang penjualan. Berbelok ke
timur kami menyusuri Jalan Pejanggik yang menjadi icon Kota Mataram. Di sinilah berdiri berbagai bangunan utama mulai
dari satu-satunya Mal hingga Kantor Gubernur. Mobil kami mulai melambat ketika
memasuki wilayah Cakranegara yang selalu sibuk dan padat. Secara sosial ekonomi
Mataram adalah gabungan antara dua kota yaitu Cakranegara yang terletak di
sebelah timur dan Ampenan di pesisir Barat. Cakranegara menjadi salah satu
pusat perekonomian utama di Lombok yang didominasi oleh pedagang keturunan Cina
dan masyarakat yang beragama Hindu. Sedangkan Ampenan sebagian masyarakatnya
adalah Keturunan Timur Tengah serta gabungan berbagai etnis. Itulah yang
menjadikan kota Mataram sungguh berwarna.
Dari pusat kota Cakranegara kami berbelok dan terus bergerak ke
selatan. Kami berhenti di sebuah minimarket untuk membeli air minum dan
beberapa camilan ringan. Tak lama setelah melewati monumen Lombok Barat Bangkit
kami tiba di Kota Gerung yang merupakan ibukota Kabupaten Lombok Barat. Tiba-tiba
di ban belakang mobil terasa ada sesuatu yang mengganjal meskipun mobil masih
bisa kuajak lari kencang. Kami memutuskan berhenti dan memeriksanya. Sebuah
potongan paku menancap di ban belakang sebelah kanan tetapi tidak sampai
menyebabkan kebooran dan langsung teratasi dengan singkat di bengkel yang hanya
berjarak beberapa ratus meter dari tempat kami berhenti. Puluhan hingga ratusa
kali aku keliling Lombok termasuk di wilayah Gerung, tetapi baru kali ini aku
mengalami kejadian seperti ini. Memang pernah ban mobilku tertutuk benda tajam
tetapi itu terjadi di dekat rumah akibat ada material berserakan di proyek
dekat komplek perumahan. Mungkin kejadian ini adalah tembahan cerita yang
membuat perjalanan terasa semakin dinamis.
Kami tiba di Pelabuhan Lembar dan langsung membeli tiket
penyebrangan. Petugas loket cukup ramah namun juga cukup tegas menyebutkan
nominal Rp733.000,- sebagai biaya penyebrangan sebuah mobil pribadi termasuk
penumpang di dalamnya. Inilah atu hal yang membuat Bali – Lombok seolah
terpisah jauh, setidaknya bagi kami. Jauhnya perjalanan laut serta mahalnya
biaya penyebrangan membuat kami tidak bisa sesuka hati jalan-jalan ke Bali
dengan mobil pribadi. Tapi itu belum seberapa jika dibandingkan titik
penyebrangan lain di nusantara. Sepertinya penyebrangan kali ini akan terasa
menyenangkan karena antrian penumpang di dermaga keberangkatan terlihat sangat
sedikit. Mobil dan sepeda motor pun hanya ada beberapa termasuk sepasang
wisawatan asing dengan sepeda motor dan surfboard
yang tergantung di sampingnya. Sekitar 10 menit kami menunggu hingga
akhirnya seorang petugas mengarahkan kendaraan bermotor untuk masuk ke kapal.
Chapter
II | Lembar – Padang Bai
Usai memarkir mobil di bagian paling depan deck paling bawah kapal, seorang petugas langsung menawari kami
untuk menyewa kamar. Hal itu memang sudah masuk plan kami karena mustahil 4 – 5 jam di tempat umum dengan berbagai
aktivitas yang salah satunya adalah tidur dan menyusui. Kami langsung diajak
naik ke deck paling atas dan deal dengan harga Rp70.000,- untuk kamar
nahkoda dengan fasilitas AC, TV dan DVD lengkap dengan puluhan koleksi film, privasi khusus karena bukan deck umum termasuk balkon untuk
menikmati panorama luar, serta kamar mandi khusus perwira tepat di sebelahnya. Harga
yang cukup pantas tetapi sebenarnya bisa aku nego lebih murah lagi daripada
hanya turun 30% dari harga penawarannya. Aku sedang malas nego terlalu dalam
dan yang penting segera masuk ke dalam kamar yang nyaman.
Aktivitas pertama tentu saja memilih film setidaknya untuk membuat
suasana kamar menjadi lebih hidup. Setelah melalui proses pemilihan yang ketat,
The Company of Heroes akhirnya menjadi film pertama yang kami putar. Sebuah
misi rahasia sekutu untuk menggagalkan proyek bom atom Nazi di Kota Stuttgart.
Berbagai referensi menyatakan ‘entah apa jadinya dunia ini jika Nazi yang lebih
dulu menyelesaikan proyek Bom Atom?’
Tentu saja aktivitas Bos adalah makan siang yang ia selesaikan
dengan sangat baik tanpa ada aksi mogok makan. Perut kenyang sebenarnya saat
yang tepat baginya untuk tidur. Tapi rupanya ia memang petualang sejati dan
lebih memilih untuk menikmati pemandangan di luar kapal dari jendela. Lembar
terletak di sebuah teluk yang sangat strategis dengan sisi selatan tertutup
penuh dan sisi barat yang juga nyaris tertutup oleh daratan. Ombak dan angin manjadi
jinak di pelabuhan ini, akan berbeda ceritanya jika pelabuhan diletakkan di
pesisir barat-tengah Lombok misalnya Ampenan. Perlu waktu beberapa puluh menit
bagi kapal buatan Jepang ini untuk meninggalkan teluk tersebut. Selanjutnya
kami berada di bagian utara Sekotong dan seolah sedang berada di atas kapal
pesiar. Garis pantai yang sangat putih adalah hiburan utama di penyebrangan
ini. Beberapa saat kemudian terdapat beberapa gili (pulau kecil). Kamera sudah
tentu tak lepas dari tanganku. Lengkap sudah karena beberapa bulan lalu aku
pernah berhasil meng-capture pulau-pulau
di barat daya Lombok ini dari pesawat, Namun sayangnya kami belum sempat
menjelajahi wilayah tersebut. Pesisir barat – tengah yaitu Ampenan – Senggigi
pun terlihat dari sisi kanan kapal. Sungguh Lombok memang indah nyaris di semua
sisi.
Memasuki jam kedua kami sudah berada di laut lepas dalam artian di
sebelah selatan kami tidak ada lagi daratan dan kapal ini akan memperoleh efek
langsung dari ganasnya Samudra Hindia. Untungnya saat itu Bos sudah berhasil
ditidurkan hingga kekhawatiran kami mengenai kemungkinan ia mabuk laut pun
sirna. Pada hari yang secara umum gelombang laut relatif tenang pun perut kapal
terasa terus bergoncang. Tapi inilah menariknya perjalanan laut sesungguhnya. Usai
shalat dhuhur kami harus memilih film berikutnya. Real Steel adalah film yang
akhirnya kami putuskan untuk kami tonton ulang sambil melakukan berbagi hal
luar biasa di dalam kamar ketika Bos sedang tertidur lelap J.
Goncangan mulai mereda ketika sebuah pulau besar terlihat tepat di
sebelah selatan kami. Itulah Pulau Nusapenida yang sudah masuk ke dalam wilayah
Provinsi Bali. Sekilas secara visual garis Pantai utara Nusapenida tidak
seputih Sekotong meskipun aku yakin di sisi selatan yang mengahdap ke Samudra
Hindia akan lain situasinya. Hal ini membuatku semakin penasaran untuk menjelajahi
pulau tersebut, suatu hari nanti.
Nusapenida island |
Welcome to Bali! |
Chapter
III | Padang Bai – Kuta
Rasanya ada energi luar biasa saat menginjak pedal gas mobil di
atas aspal jalan nasional yang menghubungkan Padang Bai dengan Denpasar. Inilah
untuk pertama kalinya keluarga kecil kami berpetualang di Pulau Bali. Pepohonan
yang rindang selepas Padang Bai ditambah pemandangan pura di setiap rumah
membuat rasa kantuk menjadi hilang. Beberapa penjual ikan laut di sisi jalan semakin
membuat suasana melancong semakin terasa. Puncaknya adalah ketika kami melihat
penjualn Durian Bali berjajar di sepanjang jalan. Namun sayangnya jenis duran
yang dijakakan tidak lebih baik dari durian di sekitar Pusuk yang biasa kami
gunakan sebagai komoditi bisnis. Tapi aku tak yakin durian di sekitar Padang
Bai ini bisa menggeneralisir durian dari Pulau Bali.
Usai melewati lokasi wisata Gua Lawa, jalan dua jalur dua lajur
ini akhirnya berbuah menjadi jalan besar dua jalur empat lajur dengan median.
Rasanya kami mulai disambut dengan kekuatan infraturktur Bali sebagai destinasi
wisata yang memang telah mendunia. Satu hal yang membuatku kagum meskipun di
sepanjang jalan tersebut terdapat sangat banyak perempatan dengan lampu lalu
lintas, tetapi semuanya tertib. Ditambah lagi selalu terdapat rambu penunjuk
jalan resmi yang menujukkan destinasi wisata meskipun tidak terkenal.
Berturut-turut kami disuguhi petunjuk jalan ke kiri berbagai pantai yang
seagian besar asing di dalam kamus kami. Sisi kanan pun tak kalah dengan icon Bali Safari Park. Siang yang panas
pun terasa menyenangkan.
Meskipun jalan raya yang sangat istimewa ini dibuat dengan
perkerasan beton yang tentu saja mengurangi kenyamanan berkendara, namun kecepatan
mobil tepat stabil cepat rata-rata 70 – 80 km/jam. Tak lama kami sudah sampai
di Denpasar Timur dan petunjuk jalan menuju Pasar Sukowati ke arah utara.
Sempat tergoda namun kami tetap melanjutkan perjalanan menuju Kuta. Memasuki
kota Denpasar kami sedikit mengalami salah jalan atau bisa disebut kesasar akibat adanya masalah dengan gadget android-ku. Berbekal rambu
penunjuk jalan dan aplikasi GPS amatir dari Blackberry kami pun mulai kembali
ke jalur yang benar menuju Kuta.
Menyusuri jalan-jalan utama di Kota Denpasar diantaranya Jl. Hang
Tuah, Jl. Puputan Niti Mandala Raya, Jl. Teuku Umar kami menyaksikan kemegahan
ibu kota Bali ini. Kantor-kantor instansi pemerintah dan swasta berjajar rapi
di sisi kanan dan kiri jalan yang rindang dengan taman kota yang selalu
terjaga. Mal dan pertokoan pun nampang elok dengan arsitektur khas Bali.
Seandainya daerah lain juga menerapkan perda di dalam pengurusan IMB agar
bangunan publik harus dibuat dengan desain tradisinoal untuk terus melestarikan
budaya dan kearifan lokal.
Sejatinya kami sudah keluar Kota Denpasar dan mulai memasuki
Kabupaten Badung. Hanya saja batas kota memang tak jelas karena nuansanya hampir
sama yaitu keramaian. Menjelang Kuta berbagai hotel mulai berbaris seolah
berlomba menawarkan harga dan fasilitas terbaiknya. Kami memasuki Jl. Legian
dari arah Jl. Patih Jelantik – Jl. Sriwijaya yang menurut Mama sering dijadikan
tempat shooting film (sinetron?) dan
terdapat berbagai galeri seni.
Tibalah kami di salah satu icon
utama Bali yaitu Jl. Legian yang sempat mengalami peristiwa pemboman pada
2002 dan 2004. Nyaris dari semua sudut pandang, Jl. Legian ini sangat menarik!
Di sisi kanan dan kiri hotel berjajar rapi berbagai store merk terkenal yang kebanyakan dari luar negeri. Beberapa
hotel dan restoran/café juga menjadi pemandangan utama yang disempurnakan
dengan wisatawan asing yang berjalan kaki. Mobil kami mungkin hanya sanggup
berjalan dengan kecepatan rata-rata 5 km/jam saat melewati jalan ini karena
sekali jalan tak lebih dari 5 meter yang ditempuh kemudian berhenti lagi selama
beberapa menit. Lebar jalan nyaris penuh dengan dua mobil berjajar dan tentu saja
parkir mobil dan sepeda motor di pinggir jalan diharamkan. Kemungkinan parkir
di jalan ini hanya di hotel. Ingin rasanya berjalan kaki di Legian, namun tak
kunjung menemukan tempat parkir hingga kami pun tiba di Pantai Kuta. Di pintu
selatan Pantai Kuta pun parkir mobil dan sepeda motor penuh hingga kami harus
menyusuri Jl. Pantai Kuta terus ke Utara hingga menemukan tempat parkir tak
jauh dari Sunset Hotel.
Ground Zero |
Sunset time!
Lupakan
Legian dan jauhnya berjalan kaki kesana sambil menggendong Bos. Kami pun melangkahkan
kaki memasuki Pantai Kuta yang memang tiada duanya. Hamparan pasir putih lembut
membetang dari ujung selatan hingga terus ke Utara sekitar Seminyak. Memang
lebih indah pasir merica di Lombok,
tapi mungkin lebih nyaman pasir jenis ini. Dari sisi ombak juga sedang karena
masih memperoleh efek langsung dari Samudra Hindia dari arah barat daya namun
dari sisi selatan masih terlindungi oleh bagian kaki Pulau Bali—Jimbaran &
Pecatu. View sempurna untuk menikmati
sunset karena pantai ini menghadap ke
arah barat. Sekali lagi mungkin dari sisi landscape
lebih unggul Senggigi dengan perpaduan pantai dan bukitnya. Namun eksotisme
Kuta adalah perpaduan dari elemen alam yang disempurnakan oleh hingar bingar
kehidupan pantai internasional dan beberapa elemen buatan. Fasilitas sudah
tentu menjadi yang terlengkap di Indonesia dengan berbagai brand hotel, kuliner, dan goods
terkenal.
Aku sibuk memotret aktifitas surfing,
Mama sibuk selfie dan bergaya bak
remaja, sedangkan Bos sibuk bersantai dengan gayanya yang khas sambil
memandangi kawan-kawan seumurannya dari berbagai negara yang sedag berenang. Disinilah
kami menyaksikan betapa budaya berniteraksi dengan alam sangat ditanamkan oleh
masyarakat dari negara-negara ‘barat’. Bocah yang kira-kira seusia pun 4 - 5
tahun sudah mencoba berselancar di ombak yang tidak bisa dibilang kecil dengan
dibantu orang tuanya yang memegang tali kendali papan tersebut. Di sisi lain
kami melihat beberapa wisatawan asing seolah sedang membuat film. Dua hal
tersebut sangat menarik dibandingkan lalu lalangnya remaja-remaja Indonesia
yang berpakaian minim yang dengan mentah bergaya bule dan seolah sama sekali tak kenal norma ketimuran. Tak terasa
matahari pun sudah hampir tenggelam sepenuhnya dan kami harus melanjutkan
perjalanan.
Chapter
IV | Kuta – Negara
Mengejutkan sekali ternyata parkir mobil di Kuta tidak ditarik
biaya. Mungkin masyarakat Bali tidak mau bermain ‘uang receh’ seperti itu.
Devisa wisata dikelola dengan baik, tidak seperti daerah lain termasuk Lombok
yang persoalan parkir pun masih menjadi andalan utama masyarakat sekitar.
Kami harus kembali ‘ke jalur yang benar’ yaitu jalan nasional
Denpasar – Gilimanuk. Singkatnya kami sudah melenceng hingga 15 km di sebelah
selatan jalur tersebut. Kami pun mantap memutuskan untuk berpatokan pada plan awal yaitu bermalam di Negara.
Setidaknya di hari pertama ini kami ingin ada perjalanan berarti. Jika harus
bermalam di Kuta maka hari kedua akan menjadi sangat berat. Biarlah kami
berlibur sepuasnya di Bali saat kembali nanti atau di lain kesempatan.
Memasuki Jl. Seminyak perjalanan relatif mulai lancar. Secara umum
strukturnya sama dengan Jl. Legian namun sedikit lebih lebar dan keramaiannya
pun berkurang. Pemandangan di sisi kiri dan kanan jalan hampir sama dengan
didominasi oleh hotel, restoran/café, dan toko. Namun jenis barang yang dijual
disini mulai berbeda. Di Seminyak mulai banyak kerajinan lokal yang sangat
elegan dan puncaknyanya adalah sebuah butik milik Ni Putu Jelantik. Sedangkan
untuk produk fashion internasional
tidak melulu didominasi oleh merk surf
appreal tetapi lebih banyak butik dengan berbagai spesifikasi jenis pakaian
mulai dari gaun pengantin hingga bikini. Kami cukup terinspirasi oleh kerajinan
dari kerang yang dibentuk menjadi semacam lampu elegan dengan ornamen alami.
Usai maghrib kami mulai meninggalkan area wisata tersebut namun
jalanan tidak serta merta menjadi sepi. Jika tingkat kerumitan jalanan di
Jakarta memperoleh nilai 10 (skala 0 – 10) maka Bali setidaknya satu tingkat di
bawahnya. Kerumitan jalanan ini diperparah dengan adanya upacara adat Galungan
& Waisak yang membuat beberapa ruas jalan harus ditutup. Tantangan yang
semakin nyata untuk menaklukkan jalanan Badung. Untuk urusan perut Bos masih
tersedia perbekalan, sedangkan bagi kami disinilah peran pancake sebagai camilan berat pengganjal perut. Berhenti untuk makan
di sekitar Badung yang rumit bukan pilihan. Bagi kami sebagiknya terus berjalan
sambil ngemi pancake dan di Negara
nanti kita akan makan malam lezat dengan kondisi bada segar.
Kami berhenti di sebuah bensin beberapa saat sebelum tiba di jalan
nasional di sekitar Mengwi. Inilah pertama kalinya kami mengisi bensin di
perjalanan ini karena perjalanan Lombok – Denpasar masih bisa dilayani dari
sisa bensin yang ada. Melihat kamar mandi yang bersih kami memutuskan untuk
memandikan Bos. Inilah Bali-Jawa dimana pom bensin seringkali menjadi tempat
peristirahatan yang cukup nyaman. Memandikan Bos disini pun tidak disertai
dengan perlawanan berarti. Ia mandi dengan ceria. Badan segar, bersiaplah tidur
dan melanjutkan perjalanan berikutnya Bos!
Lega rasanya bertemu dengan bus-bus dan truk-truk besar. Akhirnya
kami tiba di jalan nasional Denpasar – Gilimanuk dan tak lagi bergantung kepada
gadget. Jalanan lebar membuat kami
mau tidak mau harus menyesuaikan kecepatan. Rasanya Kota Negara akan dicapai
dengan mudah meskipun aku sempat melihat patok km di kiri jalan yang tertulis
Gilimanuk 106 km. Setelah kuestimasi jarak dari titik tersebut ke Negara adalah
sekitar 80 km.
Perjalanan mulai terasa sulit usai kami melewati Tabanan. Jalanan
mulai menyempit sehingga lalu lintas terasa padat. Diperparah dengan topografi
naik – turun dan banyaknya tikungan serta adanya proyek pembuatan fly over pada beberapa titik, kecemasan
mulai menghinggapi Kami. Mama mulai mengungkit bahwa Negara memang jauh karena
ia terpengaruh cerita dari teman ibunya yang bekerja di PA Negara. Aku mencoba
tenang namun tetap cemas dan merasa bersalah karena aku mulai sadar bahwa di
perjalanan ini bukan hanya aku yang bekerja keras sebagai driver, tetapi juga Mama yang harus memangku Bos, dan Bos yang tidak
bisa tidur dengan posisi optimal. Menggunakan baby car seat pun bukan pilihan buat Bos karena ia tidak bisa
bergerak bebas. But the sow must go on. Berhenti
dan mencari hotel di sekitar sini bukan pilihan yang baik karena kami relatif
tidak berada di suatu kota, sedangkan kembali ke Denpasar jelas konyol. Aku
jadi ingat beberapa kali aku menempuh Jalur Denpasar – Gilimanuk sejak beberapa
tahun lalu selalu saja menghadapi kondisi seperti ini di Tabanan. Tak
kubayangkan jika harus melewati daerah ini pagi atau siang hari dimana
kepadatan arus lalu lintas harus berpadu dengan berbagai aktivitas masyarakat
setempat misalnya pasar dsb.
Seringkali aku harus mempertahankan persneling mobil di gigi 1 ketika melewati jalan menanjak karena di
depan kami ada truk besar yang berjalan dengan sangat lambat. Mobil kami yang
bertipe hatchback compact nampak mini
disbanding raksasa jalanan seperti truk dan bus besar. Ketika jalan baru yang
sedang dikerjakan nanti sudah selesai waktu tempuh Denpasar – Gilimanuk sudah
tentu akan menjadi lebih singkat. Di sinilah peran infrastruktur sebagai
penopang distribusi logistik maupun wisata.
Perjalanan menjadi lebih cepat ketika kami kembali di pesisir
patai selatan dan topografi jalan menjadi lebih ramah yang berdampak pada
jalanan terkesan lebih lapang. Aku sempat mencoba mengecek peta di gadget dan mendapat bahwa kami sudah
berada di setengah perjalanan menuju Negara. Tentu saja kecepatan harus
kutingkatkan untuk segera mencapai Negara. Bos pun mulai tampak tertidur
semakin lelap.
Sekitar satu jam kemudian kami merasa seharusnya sudah tiba Negara
tapi tak kunjung mendapati gerbang kota atau berubahnya situasi dari kegelapan
hutan – sawa menjadi kota. Sempat terjadi perdebatan dengan Mama yang
berargumentasi bahwa Kota Negara sudah terlewati dan mungkin tak lama lagi kami
akan sampai di Gilimanuk. Tapi pendapat itu sirna dengan mulai banyaknya papan
nama resort di sebelah kiri kami dan rambu-rambu ke arah pantai. Tak lama
kemudian tibalah kami di gerbang Kota Negara dan harapan untuk segera tidur di
atas kasur empuk pun akan segera terwujud.
Sebenarnya sejak di Badung aku sudah menelepon sebuah hotel yang
kupilih secara teoritis dari daftar hotel di websit Kabupaten Jembrana. Teoriku
adalah mencari hotel yang lokasinya di jalan utama. Hotel Jati kupilih karena
terletak di Jl. Udayana yang juga terletak di jalur nasional. Tapi sejak tiba
di kota negara kami mulai kehilangan arah akibat tak kunjung menemukann Jl.
Udayana dan seolah jalan itu fiktif dan hanya ada di google map. Sempat putus asa kami sempat mencoba mampir ke beberapa
hotel yang juga tak memuaskan dari sisi harga dan fasilitas serta beberapa
sudah tutup. Kami pun bertanya ke beberapa orang satpam di depan sebuah Bank
Swasta. Rupanya memang baru terjadi pergantian nama jalan di Kota ini sehingga
aplikasi map belum bisa
mengakomodasinya. Seorang satpam memberikanku petunjuk bahwa Hotel Jati lurus
saja ke barat sampai sungai ketiga. Aku jadi teringat dengan Robi Navicula yang
pernah mehyatakan bahwa sungai adalah sumber energi dan di dalam adat Bali
harus dihormati. Bapak itu pun memberikan petunjuk dengan acuan sungai, bukan
gedung, bukan kilometer, bukan tikungan sebagai bukti akan penghormatan
terhadap kearifan lokal.
Tepat sekitar pukul 22:00 WITA Kami tiba di Hotel Jati. Terbayar
sudah perjuanangan kami menemukan hotel Jati
karena sejak di gerbang masuk dan receptionist
terlihat sangat nyaman. Kami berhasil mencapai target geografis, tapi gagal
mencapai target waktu karena terlalu malam bersitrirahat di hari pertama ini. Puas
rasanya melihat kamar yang cukup besar dengan kamar mandi dalam serta 2 singel bed lengkap dengan TV dan
penyejuk ruangan serta teras yang cukup lebar dan mobil kami bisa diparkir
tepat di depan kamar. Struktur hotel ini adalah bangunan-bangunan berukuran
sedang yang tersebar tidak simetris dan masing-masing dibagi menjadi dua kamar.
Untuk urusan harga Bali memang rajanya hotel. Kelas AC hotel ini dibanderol
dengan harga Rp150.000,- sedangkan kelas fan
dengan luas dan fasilitas yang sama hanya Rp75.000,- dengan bonus sarapan
pagi untuk dua orang.
Welcome
drink dua gelas the hangat kami lahap dengan nikmat, kemudian mandi dan
pergi keluar hotel untuk mencari makan malam. Aku membeli makan pesanan Mama
yaitu nasi goreng di dekat pusat Kota Nagara. Tapi ketika tiba di hotel justru
aku mendapati kontradiksi. Mama tertidur lelap dalam kondisi belum mandi dan
berganti pakaian, sedangkan Bos nampak full
battery dan sedang bermain sendiri. Akhirnya aku menikmati makan malam
bersama dengan Bos. Beberapa suap nasi dan telur berhasil masuk ke dalam
mulutnya. Setelah itu aku tidur dan Bos kembali menjadi tanggung jawab Mama.
Konon malam itu usai makan malam, Mama tidak berhasil menidurkan Bos dan Bos
tetap bermain sendiri hingga akhirnya ketiduran.
Bersambung ke Capter VI
Bersambung ke Capter VI
Untuk petualangan kali ini senjata utama kami adala pocket camera Canon IXUS milik Mama karena lebi fleksibel digunakan. Sesekali bertemu dengan momen indah kami langsung mengambilnya dari kantong yang selalu kami bawa kemana pun kami pergi. Jau lebih fleksibel dibandingkan kamera DSLR dan fiturnya maupun asilnya lebih baik dibandingkan kamera smartphone.
No comments:
Post a Comment