Petualangan Syaathir | Jelajah Nusantara II (Mendaki Gunung Menyusuri Pantai) - Hamzah Maulana

Post Top Ad

Petualangan Syaathir | Jelajah Nusantara II (Mendaki Gunung Menyusuri Pantai)

Petualangan Syaathir | Jelajah Nusantara II (Mendaki Gunung Menyusuri Pantai)

Share This

Gila! Itulah kata pertama yang kami lantunkan bersama ketika melihat peta usai menuntaskan petualangan melelahkan bersama Syaathir yang masih berusia 7 bulan. Dari total kilometer yang kami lahap mungkin tidak sebanyak ketika kami menjelajah wilayah Selatan Lombok. Tetapi vertical allignment yang kami lalui sungguh ekstrim untuk ukuran petualangan ringan seharian bersama batita. Hal ini juga menepis komentar beberapa teman yang menyatakan bahwa setelah menikah dan mempunyai anak maka petualanganku akan berakhir. Sama sekali tidak kawan! Sejak bayi anakku sudah menjadi petualang :). Hanya memang caranya sedikit berbeda, terutama dari sisi transportasi. Jika dulu aku banyak berpetualang dengan cara gerilya, serabutan, atau bahkan dengan sepeda...  periode ini petualangan memang lebih banyak menggunakan mobil.

Kisah ini bermulai dari rencana jalan-jalan ringan dengan judul 'cari angin ke gunung. Sedikit 'bosan' dengan pantai, kami ingin mengajak Syaathir merasakan sejuknya udara Taman Nasional Gunung Rinjani. Ini bukan pengalaman pertamanya. Pada Desember 2012 saat ia masih berusia 3 bulan sejatinya ia sudah pernah melakukan jelajah alam di Air Terjun Jeruk Manis yang juga masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani.

Petualangan dimulai dari Pancor Lombok Timur, dari rumah mertua, di suatu siang ketika aku sedag menjalanji cuti reguler. Usai mengisi full bensin mobil kami bergerak ke arah timur laut menyusuri jalanan utama Pulau Lombok. Di Kota Kecamatan Aikmel kami terus bergerak utara. Pemandangan mulai beralih dari padatnya pemukiman menjadi kesegaran sawah dan kebun. Tak lama kemudian jalanan mulai menanjak hingga tibalah kami di pintu masuk Taman Nasional Gunung Rinjani. Setelah itu kami sudah benar-benar berada di hutan dengan disambut oleh monyet-monyet khas hutan Rinjani. Bagi kami kecuali Syaathir, inilah petualangan kedua kami menuju Sembalun.

Usai melewati sebuah jembatan tua, tanjakan semakin tajam. Jika tak hati-hati dan tak memiliki kemampuan mengemudi yang cukup sebaiknya tidak mencoba jalur ini. Setelah melewati tanjakan terakhir yang sangat panjang tibalah kami di puncak tertinggi dari jalanan ini. Kami berhenti untuk beristirahat di sebuah berugak sambil menikmati keindahan Sembalun di sebelah utara, di bawah kami. Sembalun berada di sebuah lembah di antara Gunung Rinjani dan bukit-bukit di sebelah timur. Sejauh mata memandang Sembalun memang benar-benar dikelilingi oleh dinding alam yang membuatnya seolah terisolasi. Namun hal inilah yang membuat Sembalun begitu unik. Di sebelah barat terdapat punggungan gunung dengan topografi nyaris vertikal yang dibaliknya adalah Puncak Rinjani. Jalur pendakian dari area timur Sembalun tidak dimulai dari titik ini, tetapi menyusuri jalur yang lebih landari dari Desa Sembalun lawang.

Puas beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Sembalun. Melalui turunan tajam kadang lebih melelahkan dibandingkan tanjakan. Mengontrol kecepatan mobil pada titik tertentu harus diimbangi dengan kemampuan mengendalian beban mobil yang searah dengan alignment jalan. Jalan yang tidak terlalu lebar juga memberikan tantangan tersediri ketika ada kendaran lain yang melaju dari arah berlawanan diserta tikungan-tikungan tajam. Masalah muncuk ketika semacam bau gosong yang kemungkinan berasal dari rem mobil. Aku sempat berhenti untuk memastikannya tetap tidak ada masalah serius, hanya forsir berlebih untuk menahan laju mobil. Tak ada pilihan kecuali melanjutkan perjalanan menuju Sembalun yang hanya seperlemparan batu lagi. Perkara bagaimana cara kembali melewati tanjakan dan turunan ekstrim ini tak perlu kita pikirkan sekarang. Yang penting nikmati dulu Sembalun!

Tiba di Sembalun serasa berada di sebuah desa fiksi. Bukit-bukit yang mengelilingi desa ini benar-benar membuatnya terpisah dari dunia luar. Di kanan dan kiri jalan warna-warni bunga membuat segar mata yang selama ini banyak disibukkan oleh hiruk-pikuk meodernisasi. Cuaca dan suhu udara tanggung khas dataran tinggi pun makin membuat hati semakin tersenyum. Sepintas terlihat kehidupan masyarakat begitu tentram.

Kami berheti di beberapa titik di Sembalun untuk berfoto maupun secara spesifik menikmati keindahan landscape. Tak terasa kami sudah berada di sisi utara Sembalun dan nyarus berada di pintu bukit sisi utara. Rupanya terdapat celah di antara dua bukit yang sebelumnya tak terlihat. Entah setan apa yang merasuki hingga mengusulkan untuk melanjutkan perjalanan ke utara. Aku kembali memelajari peta dan yakin untuk melakukannya karena tak lebih dari 30 kilometer dari titik kami berdiri kami adalah pantai utara. Setelah bertanya ke seorang warga dan berusaha meyakinkan Mama, kami pun terus melaju ke utara. Teoriku adalah tidak akan ada tanjakan dan turunan ekstrim lagi. Dari titik ini kami tinggal sedikit turun hingga tiba di pantai utara. Selanjutnya kami tinggal menyusuri pantau utara-barat melalui Sambelia hingga tiba di Kayangan dan kembali ke jalur utama Pulau Lombok. Bayangkan pemandanagan dan petualangan yang di area yang sama sekali belum pernah kita jamah. Itulah kemungkinan baik yang kuajukan. Kemungkinan buruknya tak kusampaikan dan berusaha kusembunyikan misalnya: jalanan buruk, tidak ada 'kehidupan', masuk hutan yang lebih ektrim, hingga bahaya kerusakan mobil. Tapi aku yakin akan satu hal: bensin cukup dan mobil ini sehat!

Usai melewati celah bukit tersebut, suasana mulai berubah. Kami tidak lagi berada di lembah raksasa, tetapi memasuki hutan dengan elevasi tidak lebih dari tidak lebih dari 1000mdpl. Jenis pohon yang ada pun berbeda dengan hutan yang kamu lalui sebelum Sembalun tadi. Pohon berdaun lebar banyak dijumpai daerah ini. Di beberapa titik terdapat lubang yang cukup mengganggu perjalanan kami meskipun tidak sampai menghambat. Teoriku benar bahwa turunun disini lebih landai dibandingkan jalur keberangkatan meskipun tetap saja tidak ramah.

Cukup lama kami tak kunjung keluar dari hutan. Panasnya sinar matahari mulai terasa yang artinya elevasi kami semakin turun. Aku punya firasat wilayah seperti ini adalah habitat berbagai jenis reptil tropis. Tebakanku benar. Dengan santainya sejenis biawak besar melintas di depan kami. Jadi teringat dengan petualangan menembus huta selatan Sumbawah beberapa tahun lalu ketika seekor ular Cobra besar menghadang perjalanan kami. Kendaraan yang melintas dari arah berlawanan semakin jarang kami temui. Sudah tentu Mama panik karena pantai utara sebagai tujuan utama kami sepertina hanya ada di peta. Tapi aku jelaskan bahwa inilah esensi utama dari berpetualang: "let's get lost!".

Ketika kami sudah hampir tidak berharap lagi untuk tiba di pantai utara, jauh di depan kami terhampar warna biru segar. Suasana kembali menjadi jauh lebih ceria. Tak lama kemudian kami tiba di desa pertama setelah melewati hutan. Desa yang sunyi tak jauh dari pantai utara.

Kami berbelok ke arah timur ketika melewati sebuah pertigaan besar. Tertulis di rambu penunjuk jalan bahwa arah barat adalah Bayan dan arah timur adalah Sambelia. Beberapa kilometer kemudian kami sudah benar-benar berada di tepi pesisir utara Lombok. Sepoi-sepoi angin laut mulai terasa. Sudah tentu motivasi untuk menginjak pedal gas lebih kencang tak terelakkan meskipun masih bayak lubang jalan.

Setelah melewati sebuah jembatan besar, aspal halus menyambut kami. Kelelahan peserta petualangan mulai nyata. Aku semakin memacu mobil lebih kencang untuk segera menemukan tempat istirahat yang nyaman sekalian membeli makanan. Namun bukannya memasuki desa, kami justru kembali melewati hutan dengan pohon khas pesisir. Sudahlah.. nikmati saja perjalanan ini.

Ketika memasuki sebuah desa kami hampir menyerah dengan berusaha mecari warung. Namun instinct-ku mengatakan bahwa tak jauh di depan kami akan ada sebuah pantai yang rindang dan kami bisa beristirahat dengan nyaman. Tak lama kemudian tibalah kami di pantai Obel-Obel. Sungguh lega rasanya menyaksikan pedagang bakso dan warung nasi sederhana di sekitar pantai.

Obel-Obel seperti tak mewakili kebanyakan pantai di Lombok pada umumnya dengan landscape yang fluktuatif secara vertikal maupun liar secara horizontal dan ombak yang tidak tenang. Ya inilah salah akibat dari "terisolasinya" wilayah pesisir selatan Lombok. Pemekaran wilayah dengan lahirnya Kabupaten Lombok Utara sejak 2008 sudah cukup membuat pembangunan bergerak ke utara, meskipun jelas belum merata dan signifikan. Belakangan aku dengan bahwa wilayah Lombok Timur bagian utara yang salah satunya adalah wilayah Obel-Obel ini juga sedang melakukan proses untuk membentuk kabupaten sendiri. Melihat potensi wisatanya terutama di derah Sambelia, sudah tentu pemekaran ini ide yang bagus sehingga membuat Lotim tidak hanya Selong. Ditambah lagi potensi gunung Rinjani baik dari segi wisata maupun energi. Namun tentu banyak aspek untuk "memerdekakan diri" yang salah satunya adalah kualitas dan "integritas" (ini yang paling penting) SDM.

Seporsi bakso dengan harga Rp5.000,- menjadi menu makan Mama siang itu, sedangkan aku memilih nasi bungkus seharga Rp4.000,- yang sederhana dan terkesan apa adanya namun sungguh nikmati disantap ditemani sepoi-sepoi angin pantai. Sementara Syaathir dengan lahap menikmati menu makanan khusus buatnya yang dibawa dari rumah. Setelah makan kami shalat dhuhus (yang sangat terlambat) di sebuah berugak di tepi pantai. Perjalanan siap dilanjutkan.

Bukan berarti dari Obel-obel perjalanan tinggal selangkah lagi. Rupanya kami masih harus menjelajah pesisir pantai timur laut dengan ekspos langsung elevasi tanah yang menanjak di sisi kanan dan garis pantai di sisi kiri. Jalanan tidak selamanya mulus. Di beberapa titik lubang selebar lebar jalan beberapa kali kami temui. Bahkan di sebuah titik ketika hutan bakau terhampar di sisi kiri kami, tidak aspal sama sekali. Sudah tentu debu akan langsung berhamburan usai mobil kami melintas. Hingga di sebuah pertigaan aspal mulis kembali menyambut yang diperindah dengan adanya dua buah pulau di sisi kiri kami. Itulah Pulau Lawang dan Pulau Sulat. Namun allignment vertical kembali menggila. Tanjakan, turunan, dan tikungan tajam semakin menggila. Adrenalin kembali terpacu...  sungguh seru menggeber mobil dengan kecepatan sedang di tengah pemandangan indah seperti ini.

Kami tiba di sebuah desa kemudian berhenti untuk shalat ashar ketika beberapa menit tak berjumpa lagi dengan laut. Sungguh takjub melihat air minum di dalam galon berdiri tegak di pintu masjid yang disajikan gratis untuk para jamaah. Tanpa pikir panjang langsung kuteguk beberapa gelas air dari galon tersebut. Selanjutnya kami shalat dan langsung melanjutkan perjalanan. Aku merasakan tak jauh dari desa ini kami akan tiba di Sambelia. Jika dilihat di google map maka kami memang sedang menjauhi Selat Alas. Namun beberapa kilometer lagi kami akan kembali di bibir pantai dan tiba di sekitar Gili Lampu (baca kisah kami di Gili Kondo).

Sembalun Valley
Keindahan di salah satu sisi Sembalun
Pantai Obel-obel yang tenang di timur laut Pulau Lombok

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Pages