OHS Sub Station X Case – Quality Orientation & Keep Your Baseline! - Hamzah Maulana

Post Top Ad

OHS Sub Station X Case – Quality Orientation & Keep Your Baseline!

OHS Sub Station X Case – Quality Orientation & Keep Your Baseline!

Share This

OHS (Over Handling System) adalah suatu sistem yang berfungsi untuk mengalirkan batuan penutup/over burden. Fungsi mengupas batuan tersebut dan mengalirkannya ke suatu tempat pembuangan terencana tidak hanya untuk mendapatkan ore (bijih), tetapi juga merupakan bagian dari good mining practice dalam hal pengelolaan asam tambang. Di perusahaan tempat saya magang sekitar 2 tahun lalu, OHS dilakukan secara manual yaitu dengan haul truck yang akan men-dumping over burden tersebut ke area tertentu. Dengan kapasitas produksi relatif kecil hal itu memang lebih efisien. Tetapi dengan kapasitas produksi yang mungkin terbesar di dunia—untuk copper & gold mining—diperlukan metode yang lebih efisien. Labor cost untuk operator & maintenance, fuel cost, maintenance cost, dan beberapa cost lain jauh lebih tidak efisien dibandingkan dengan automatic system. Yang saya maksud automatic system disini adalah crusher, dilanjutkan dengan jaringan conveyor, beberapa grasshopper untuk memudahkan dalam menyusun fleksibilitas rangkaian dumping, dan terakhir stacker dengan boom yang sangat besar. Tentu saja automatic system tersebut memerlukan power.

Intinya jalur conveyor terakhir baru selesai dikerjakan dan sudah running beberapa bulan sebelum saya mulai bekerja di perusahaan ini. Terdapat minor problem dan masih harus diselesaikan karena secara budget project tersebut belum ditutup. Power untuk salah satu motor system conveyor disuplai oleh RMU karena Sub Station X (sebut saja Sub Station X) yang dibangun mengalami kerusakan, transformer utamanya terbakar.

Saya kurang tahu pasti historical-nya. Tetapi sejak saya mulai bekerja di perusahaan ini, sudah ada keputusan untuk memperbaiki Sub Station X tersebut menggunakan transformer bekas yang di-repair oleh vendornya, dan untuk sementara ‘meminjam’ RMU yang ada. Sebenarnya membeli Sub Station baru secara utuh jauh lebih aman dibandingkan repair dengan biaya lebih murah sekitar 50% - 75% tetapi masih ada risk dari sisi quality dan multiplier risk impact yang tentu saja bisa jauh lebih mahal.

By the way fokus saya hanya meng-organize perbaikan Sub Station X tersebut karena RMU diperlukan segera untuk expansion projects. Planning ini dimulai dengan engineering analysis untuk existing condition dan repairmen plan. Setelah itu proses procurement untuk pembelian beberapa komponen dan penyusunan kontrak vendor dari negeri Angela Merkel yang mencakup repair installation, testing, dan commissioning.

WBS pekerjaan di lapangan terbagi menjadi 5 garis besar tahap pekerjaan. Tahap pertama pre-vendor works yaitu re-install komponen yang rusak misalnya 3 pasang CT400/5 dan 1200/5 oleh department konstruksi. Tahap kedua adalah ‘vendor works for repair installation’ yang intinya memastikan dan membantu konstruksi untuk re-install komponen tersebut. Tahap ketiga adalah testing semua komponen yang telah dipasang tersebut dan diakhiri dengan transformer energize without load dan akan dibiarkan minimal 1 minggu untuk mengetahui performanya.

Tahap pertama sampai ketiga masih bisa dikerjakan tanpa shutdown karena bersifat individual dan memang Sub Station sama sekali belum terkoneksi dengan sistem.Seanjunya ada tahap keempat dan kelima sangat tergantung pada shutdown schedule rangkaian OHS terutama di bagian MVS tersebut yang berdampak pada matinya conveyor.

Tahap keempat yaitu tie in Sub Station X ke MVS yang harus disempurnakan dengan running test motor conveyor tanpa dan dengan load (belt) untuk memastikan power supply dari Sub Station X stabil serta rotation direction sudah benar—tetapi pada tahap ini RMU belum di-disconnect, hanya dilakukan rack out. Yang terakhir atau tahap kelima adalah disconnect RMU. Pada dasarnya tahap keempat dan kelima sebaiknya memiliki lag antara 2-4 minggu untuk memastikan bahwa Sub Station X sudah berfungsi optimal mendukung kinerja salah satu conveyor pada OHS. Penentuan activities, tasks, dan sequencing hingga tahap ini sebenarnya bukan semudah menulis di atas kertas, tetapi didasarkan atas berbagai analisis teknis dan interpretasi dari electrical expert yang memang berwenang. Misalnya saja lag 2-4 minggu itu tentu saja bukan asal disepakati, tapi sudah dipikirkan secara matang. Juga hasil risk analysis ‘seandainya’ masih terjadi trouble dan RMU sudah di-disconnect, maka dampaknya akan lebih besar.

Tahap pertama sampai ketiga sudah dilakukan dengan lancar dengan optimisme dari QA/QC, Commissioning, vendor, serta Process Division yang membumbung tinggi akibat hasil pengetesan local transformer maupun overall komponen Sub Station X yang sangat memuaskan. Sebagai persiapan tahap keempat diadakan meeting dengan Process Division yang dalam hal ini disebut Ore Flow (O/F) Department selaku pemilik OHS. Kami hanya diberikan waktu 5 jam power off untuk tie in Sub Station X ke MVS (yang di dalamnya juga terdapat detail tasks misalnya megger test, continuity test, dll). Alasannya adalah karena pihak O/F memerlukan power on untuk perbaikan salah satu grasshopper. Padahal saat itu di tengah optimisme berbagai pihak, tahap keempat dan kelima cenderung ingin diselesaikan dalam sekali shutdown. Dengan demikian sudah jelas bahwa tahap kelima harus dilakukan saat next shutdown—klop dengan plan awal dan technical analysis bahwa perlu lag 2-4 minggu antara tahap keempat dan kelima untuk memastikan kinerja Sub Station X.

Hari-H saat shutdown dan tahap keempat sedang dikerjakan, pihak O/F menginformasikan durasi power shutdown akan lebih lama karena satu dan hal. Kami diminta untuk menyelesaikan pekerjaan di Sub Station X sampai tahap kelima/terakhir. Karena saat next shutdown tentu saja power off tidak akan bisa mengakomodasi durasi tahap kelima yang sampai 36 jam karena memerlukan perbaikan termination kid dan testing/commissioning. Intinya kesempatan power off yang lebih lama ini tidak boleh disia-siakan.

Saya dimintai pendapat dan keputusan mengenai perubahan plan mendadak tersebut oleh beberapa pihak. Secara teknis kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Tetapi akhirnya bersama commissioning leader dan kami membuat keputusan untuk melaksanakan project sesuai plan awal apapun resikonya saat next shutdown. Baseline schedule tetap dijadikan acuan karena selain berhubungan dengan manpower planning hal ini juga di-constraint oleh technical requirement.

Sebenarnya masalah manpower bisa saja terpecahkan. Intinya memang tidak ada planning night shift untuk construction crew dan QA/QC & commissioning personel sangat terbatas. Sesuai plan awal dengan power off hanya 5 jam maka pada senin sore tahap keempat sudah bisa diselesaikan (plan awal shutdown sampai selasa pagi—OHS running). Apabila dipaksakan lanjut ke tahap kelima maka sudah jelas tidak bisa dilaksanakan senin malam karena tidak ada spare construction crew untuk night shift serta berdasarkan SOP Fatigue Management karyawan tidak boleh bekerja lebih dalam 12 jam. Opsinya adalah kru konstruksi akan melanjutkan pekerjaan selasa pagi dan QA/QC & Commissioning akan bekerja pada selasa malam. Berdasarkan analisis tersebut sebenarnya hal ini bisa saja dilakukan. Tetapi keputusan kami tetap pada baseline.

Sekitar 10 hari setelah tie in, Sub Station mengalami trip (untuk tujuan safety, sudah didesain agar Sub Station X akan otomatis tidak mati apabila terjadi trouble). Saat itu menjelang tengah malam OHS mendadak mati karena kehilangan power pada salah satu conveyor-nya. Pagi harinya kru konstruksi langsung melakukan disconnect Sub Station X dan tie in RMU ke MVS sehingga keesokan siangnya OHS kembali beroperasi dengan total shutdown selama 12 jam. Setelah dilakukan pengecekan ternyata ada sedikit trouble pada suatu komponen namun tidak terlalu serius dan serta bukan substansi inti. Hanya dengan mengganti materialnya maka beres. Sesuai dengan lag yang direncanakan sub station tidak lagi mengalami masalah. Itu artinya kami sudah berani untuk men-disconnect RMU. Pada akhirnya memang Sub Station X dapat bekerja dengan baik, meskipun sedikit meleset dari waktu yang ditentukan (karena adanya ketergantungan terhadap sutdown).

Dari sisi planning, scheduling, dan controlling ada satu hal yang membuat saya sadar akan betapa pentingnya pengusaan masalah teknis bagi praktisi scheduling/planning, mempertahankan baseline, terlibat sebagai decision maker, dan secara tidak langsung adalah reprsentasi project manager. Saya tidak bisa membayangkan jika saat itu baseline tidak dipatuhi, bisa jadi shutdown tidak terencana akibat trouble akan menjadi 5-10 kali lebih lama. Impact-nya adalah kerugian perusahaan yang jauh lebih besar karena produksi open pit mine akan terganggu akibat tidak beroperasinya OHS.

Planning tidak hanya membuat activities, menyusun relationships, assign resources, menyusun s-curve, dan menentukan critical path berdasarkan float saat menyusun sebuah schedule yang semuanya dengan mudah bisa dikerjakan dengan bantuan software. Tetapi logic sequence berdasarkan penguasaan teknis, pengetahuan overall mengenai existing system, dll mutlak diperlukan termasuk saat controlling bahkan  harus terlibat dalam critical decision making untuk kesuksesan project. Kadang kita harus belajar banyak hal di luar background pendidikan kita. Karena EPC project hampir selalu multi disiplin, sedangkan seorang planning engineer hampir bisa dipastikan hanya belajar satu bidang di antara civil, structural, mechanical, piping, electrical, atau instrumentation.


1 comment:

Post Bottom Ad

Pages