Sistem ini memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam. Manusia sebagai subyek utama tanpa ada subyek figuran. Selain manusia, yang ada di dunia hanyalah obyek. Flora dan fauna tidak lebih dari sekedar obyek. Sebagai pusat dari sistem alam manusia seolah mempunyai hak untuk mencampuri urusan Tuhan dalam menentukan nasib obyeknya.
Ironisnya paham antroposentris telah berkolaborasi dengan pandangan dikotomis yang menempatkan alam sebagai bagian yang terpisah dari manusia. Sungguh makhluk yang tidak tahu terima kasih. Padahal setiap detik kehidupan manusia mutlak ditunjang oleh tumbuhan. Kita membutuhkan supply gas oksigen (O2) untuk bernafas. Untuk menunjang kelangsungan hidup kita.
Namun kita seolah acuh kepada sang produsen gas tersebut. Masalahnya bukan pada ketidaktahuan kita tentang hal itu. Tetapi lebih kepada sebuah sikap. Hampir semua orang tahu bahwa O2 yang kita hirup dihasilkan oleh tumbuhan sebagai hasil proses fotosintesis. Hal itu telah sering dimaklumatkan sejak kita duduk di bangku SD. Sepertinya pengetahuan minimal itu telah cukup untuk menjadi bekal kepedulian kita terhadap lingkungan.
Apalagi kenyataannya tidak sedikit masyarakat yang berpendidikan minimal SMP, bahkan setingkat SMA. Di jenjang yang lebih tinggi ini kita telah dibekali pengetahuan lebih tentang siklus karbon dan secara umum siklus geoekologi. Siklus karbon berlangsung sepanjang masa.
Sepanjang kehidupan ragawi bisa berlangsung. Dengan terhentinya siklus itu sama saja dengan akhir masa. Manusia bernafas menghirup O2 yang dipakai sebagai sumber energi dan mengeluarkan karbondioksida (CO2) sebagai gas buangnya. Melalui proses fotosintesis, maka gas CO2 yang diproduksi oleh umat manusia, serta yang diproduksi sebagai gas buangan bahan bakar migas, kemudian diserap oleh tumbuh-tumbuhan yang ada di daratan serta diserap pula oleh biota yang ada di lautan, untuk kemudian dikonversikan menjadi oksigen dan dihirup kembali oleh umat manusia untuk bernapas.
Sistem kehidupan, jaringan makanan dan energi berlangsung secara berkelanjutan lewat pola fotosintesis ini. Realita yang ada justru para aktor perusak hutan adalah orang-orang “berpendidikan”.
Tidak sedikit pejabat yang minimal pernah mengenyam bangku perguruan tinggi justru menjadi dalang illegal logging. Begitu juga pengusaha pelaku pembalakan liar yang hampir mustahil hanya bersekolah sampai tingkat SD. Kontradiktif dengan carut marutnya produk “pendidikan” modern, manusia yang selama ini sering dianggap primitif justru jauh lebih “pintar”.
India kuno telah mewariskan kepada kita vasudhaiva kutumbkam, kosmologi orang India yang memandang manusia dan alam merupakan rangkaian kesatuan−tak pernah memisahkan manusia dari non manusia. Dari belahan Amerika pada abad XIX kita telah diberikan teladan oleh suku Seattle Indian yang memperlakukan alam sebagai satu bagian yang terintergrasi dengan manusia. “Kami adalah bagian dari bumi, dan bumi adalah bagian dari kami. Bagi bangsa saya, setiap bagian dari bumi ini adalah keramat” (Kepala Suku Seattle Indian, 1854).
Bahkan jawaban kepala suku Seattle Indian terhadap tawaran dari pemimpin besar orang kulit putih (yang menganggap kaumnya sebagai kaum yang lebih beradab) untuk membeli tanah suku Indian yang luas dianggap sebagai pernyataan mengenai lingkungan hidup paling indah yang pernah dibuat. Bagaimana Tuan dapat membeli atau menjual Langit dan kehangatan tanah? Gagasan ini aneh bagi kami Kalau kami tidak memiliki udara yang segar Dan air yang bergemericik Bagaimana Tuan dapat membelinya? Budaya nusantara pun tak ketinggalan berkontribusi terhadap kelestarian alam.
Suku Dayak Bantian di Kalimantan Timur percaya bahwa hutan adalah bagian dari kehidupan mereka. Dalam adat mereka dikenal adanya kawasan-kawasan hutan yang tidak boleh dirusak tetapi hanya boleh diambil hasilnya. Mereka tidak mengenal penimbunan makanan. Buah-buahan yang melimpah ruah di hutan yang tidak termakan oleh Suku Dayak dibiarkan di hutan agar di makan oleh bianatang atau satwa liar. Barang siapa yang melanggar aturan adat ini akan mendapatkan hukuman perladangan gilir balik, suatu perladangan yang mengandalkan kesuburan alam.
Selain Dayak, masyarakat Badui pun mempunyai Pikukuh atau aturan yang harus ditaati oleh warganya dan efektif sebagai instrumen untuk menjaga kelestarian alam. Masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan itulah yang dengan bijak mengelola kelestarian hutan yang mereka anggap sebagai bunda kehidupan yang kelangsungannya harus terus dijaga. Mereka sadar, merusak hutan berarti membunuh diri sendiri.
”Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan, saudara mereka Syu’aib, maka ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah olehmu Allah, harapkanlah (pahala) hari akhir, dan jangan kamu berkeliaran di muka bumi berbuat kerusakan” (QS Al-Ankabut: 36) Sebagai rujukan dari sisi agama, Al-Quran surat Al-Ankabut: 36 menunjukkan bahwa islam mendorong konservasi alam. Kitab sucinya secara eksplisit melarang manusia membuat kerusakan di muka bumi. Namun sering perkembangan manusia, “pendidikan” yang diciptakan justru lebih ke arah antroposentris.
Penemuan teknologi yang kebanyakan tujuan dasarnya untuk membantu kegiatan manusia dan merupakan refleksi dari paham antroposentris justru melahirkan statistik menyedihkan. Sering kita mendengar data tentang laju deforestasi, laju tentang luas hutan yang tersisa, atau data lain yang sebanarnya tercipta karena antroposentris yang terlalu tertanam kuat dalam setiap anak manusia.
Terakhir kita baru sadar ketika isu pemansan global terus mengemuka, ketika permukaan air terus naik, dan ketika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa bumi telah sekarat dan kita manusia adalah subyek yang telah dan akan terus memberikan kontribusi untuk membunuh bumi. Betapa kita manusia yang mengaku lebih “modern” daripada masyarakat India Kuno, Seattle Indian, atau pun Badui kenyataannya justru lebih primitif. Kita justru melupakan hakikat dasar kehidupan. Bahwa manusia dan non manusia (alam) adalah satu kesatuan.
Jika satu pihak hancur, maka pihak lainnya juga akan hancur. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia yang kitab sucinya mendukung konservasi alam pada 2007 justru tercatat dalam Guinness Book of Record sebagai negara penghancur hutan tercepat. .Dalam buku rekor itu tertulis, “Dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90% hutan di dunia, negara yang meraih tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia adalah Indonesia, dengan 1.8 juta hektar hutan dihancurkan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005—sebuah tingkat kehancuran hutan sebesar 2% setiap tahunnya atau 51 km2 per hari.”
Sebanyak 72%dari hutan asli Indonesia telah musnah dan setengah dari yang masih ada terancam keberadaannya oleh penebangan komersil, kebakaran hutan dan pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit. Ironisnya Indonesia adalah salah satu paru-paru dunia. Berdasarkan pantauan dua satelit NASA, Terra dan Aqua yang mengorbit pada 1999 dan 2002, terlihat bahwa dua wilayah di dunia, yaitu hutan tropis Amazon di Amerika Latin dan wilayah kepulauan tropis Indonesia, merupakan dua wilayah di muka Bumi yang mampu menyerap gas CO2 paling besar, yaitu mencapai sekitar 2.5 kilogram gas karbon per meter kubik setiap tahunnya.
Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo. Luas hutan Indonesia mencapai 120,35 juta hektar yang terbagi dalam hutan konservasi 20,20 juta hektar, hutan lindung 33,52 juta hektar, hutan produksi 59,25 juta hektar, dan hutan produksi konversi 8,08 juta hektar.Gardner dan Engelmen (1999) dalam Suhendang (2002) menjelaskan bahwa fungsi dan peran hutan minimal ada sembilan yaitu :
menghasilkan kayu industri (industrial wood), untuk plywood, pulp, rayon dll,
menghasilkan kayu bakar dan arang (fuel wood and charcoal),
menghasilkan hasil hutan bukan kayu (non-wood forest product),
menyediaakan lahan untuk pemukiman manusia (human settlement),
menyediakan lahan untuk lahan pertanian (agriculture land),
memberikan perlindungan terhadap siklus air dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pengendalian erosi (watershed protection and erosion control), hasil kajian terhadap 80 hasil penelitian olen bank dunia disimpulkan bahwa besarnya laju erosi tanah pada lahan perladangan berpindah ternyata 10 kali besarnya laju erosi tanah pada hutan alam,
tempat penyimpanan karbon (carbon storage), diperkirakan sekitar 830 milyar ton karbon tersimpan dalam hutan diseluruh dunia,
pemeliharaan keanekaragaman hayati dan nabati (biodiersity and habitat preservation). Hasil survey Bapenas 1993 tercatat kekeyaan bumi Indonesia mencakup 27.500 spesie tumbuhan berbunga, 25 % jenis ikan di dunia, 17 % jenis burung di dunia, 12 % mamalia di dunia dan 1,539 spesies reftil dan ampibi (16 % dari seluruh spesies reftil di dunia), dan
objek ekoturisme dan rekreasi alam (ecotourism and recreation).
Fungsi hutan mencakup sandang, pangan, dan papan. Karena itu tidak berlebihan jika kita mengandaikan bahwa hutan adalah saudara kita. Hutan memberikan fasilitas untuk kehidupan manusia. Tetapi manusia justru lalai memberikan lalai untuk berbuat sesuatu dalam kadar minimum kepada hutan, yaitu tidak merusaknya.
Kenyataannya pembalakan hutan terus merajalela. Hal ini diperparah dengan negara-negara industri yang seakan berlomba-lomba mengepulkan emisi karbon ke udara. Dengan menyusutnya luas hutan, tempat penyimpanan karbon di bumi pun semakin tereduksi. Akibatnya timbul efek rumah kaca yang salah satu sebabnya adalah CO2 yang terserap kei atmosfer akibat tidak adanya media penyerapan karbon di bumi.
Dampak lebih lanjut dari efek rumah kaca adalah pemanasan global yang jika terus berlangsung bisa mengakhiri kehidupan di bumi pada tahun-tahun mendatang. Menurut mantan Menteri Lingkungan Hidup Indonesia Dr A Sonny Keraf, Pandangan antroposentris yang mendudukkan alam sebagai sistem penunjang utama kehidupan manusia dan manusia sebagai faktor yang sangat tergantung pada alam, perlu diubah. Manusia juga bukan pusat dari segala-galanya yang harus dilayani oleh alam ini. Sekarang ini pandangan yang harus dikembangkan adalah bahwa alam dan manusia dalam kesetaraan dan kesederajatan. Terkait dengan kerusakan hutan, telah banyak pihak yang mengampanyekan kepeduliannya.
Lebih jauh lagi telah banyak organisasi didrikan sebagai wujud kepedulian terhadap hutan. Implikasinya telah banyak pula gerakan-gerakan sebagai implementasi kepedulian terhadap lingkungan. Tetapi akar masalahnya yaitu paham antroposentris nyaris jarang tersentuh pembenahan. Filsafat alam yang seharusnya ditanamkan kepada setiap anak manusia sejak lahir agar ia mengetahui hakikat sinergitas antara manusia dengan non manusia sering terabaikan. Kalah populer dibanding pengenalan terhadap teknologi, atau bidang ilmu lain yang orientasinya lebih ke arah antroposentris.
Terima kasih untuk kawan-kawan yang terus mengampanyekan tentang pelestarian hutan. Selanjutnya mari kita lebih sadar terhadap hakikat sinergitas antara manusia dengan non manusia. (*)
Daftar pustaka
Al-Qur’an Hutan <http://id.wikipedia.org/wiki/Siklus_karbon>. Diakses pada 30 Oktober 2008 Pemanasan Global. . Diakses pada 30 Oktober 2008 Siklus Karbon. <http://id.wikipedia.org/wiki/Siklus_karbon>. Diakses pada 30 Oktober 2008 Sonny Keraf: Perlu Diubah, Pandangan Antroposentris <http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0001/31/IPTEK/sonn08.htm>. Diakses pada 30 Oktober Wawancara dengan Vandana Shiva oleh Sarah Ruth van Gelder. <http://dyanuardy.wordpress.com/2007/03/02/demokrasi-bumi-wawancara-vandana-shiva/>. Diakses pada 30 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment