Novel: “Soepijah” (biography of Mrs. Soepijah Notohardjo Oetomo) - Hamzah Maulana

Post Top Ad

Novel: “Soepijah” (biography of Mrs. Soepijah Notohardjo Oetomo)

Novel: “Soepijah” (biography of Mrs. Soepijah Notohardjo Oetomo)

Share This
“Buku ini kupersembahkan untuk nenekku,

Ny. Soepijah Notohardjo Oetomo dan keluarga besar Notohardjo Oetomo”



“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan. Saya seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras… diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil… orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur” ( SOE HOK GIE )

BAGIAN 1

Catatan Kecil dari Ujung Desa

1

Aku tidak tahu bahwa negeri kita sedang dijajah. Bahkan seperti apa definisi dan implementasi sebuah negeri pun aku tak tahu. Apalagi imperialisme dan kolonialisme. Aku hanya tahu masyarakat dalam lingkup kecil. Komunal yang nyaris terisolasi dari dunia luar. Di tempat aku dilahirkan ke dunia hingga melewati fase-fase awal kehidupan. Sekitar 100 kilometer sebelah barat Surabaya. Diantara dua kota yang pada masa itu tergolong sibuk, yaitu Jombang di sebelah selatan dan Babat yang terletak di pantai utara Jawa, terdapat sebuah wilayah bernama Kabuh. Kabuh menjadi urat nadi transportasi yang menghubungkan pantura dengan daerah-daerah di selatan karena terdapat jalan raya dan jalur kereta api yang menghubungkan dua kota itu. Tetapi dari Kabuh kita masih harus melewati perjalanan seperti jalur ke neraka. Naik turun bukit-bukit gersang tanpa jalan memadai. Hanya jalan setapak yang yang dikelilingi alang-alang dengan udara panas dan berdebu. Baru kemudian kita bisa sampai tenpat itu, surga masa kecilku. Sebuah desa yang tidak terlalu subur dan sering mengalami kekeringan ketika kemarau. Tersusun dari bangunan-bangunan semi permanen mengenaskan yang salah satunya adalah rumahku. Bagian dinding terbuat dari gedhek[1] yang tampak renta meskipun sebenarnya pohon bambu banyak terdapat di sekitar Kabuh. Atapnya terbuat dari damen[2] yang dikombinasikan dengan ranting kering. Sedangkan untuk lantai kami menggunakan material paling alami: tanah!

Masa kecilku kuhabiskan di daerah dengan belenggu kesederhanaan dan kebodohan. Kebodohan dalam perspektif barat dan modernitas. Memang bagi kami hidup terlalu sederhana. Kelahiran, pernikahan, dan kematian adalah tiga hal yang menjadi batas antara fase-fase dalam kehidupan manusia. Selain perjuangan untuk mencari makan, di antara ketiganya bukan sesuatu yang penting.

Aku tinggal bersama Mak dan Bapak, serta beberapa orang kakak yang usianya tidak terpaut jauh denganku. Serta masyarakat desa yang seakan hidup sebagai satu keluarga. Ketika tesis[3] Karl Marx[4] dan Friedrich Engels[5] mulai diimplementasikan oleh Lenin di Uni Soviet, masyarakat desaku telah lebih dulu hidup sebagai masyarakat sosialis. Sosialis dalam denotasi murninya yang bisa terwujud dalam gotong royong, hingga sama rata sama rasa dalam hal makanan dan hasil bumi.

Aku adalah anak bungsu dari sekian bersaudara. Jumlah saudaraku terlalu banyak sehingga aku tidak bisa mengingat berapa jumlah dan nama-nama mereka. Mungkin sekitar belasan jumlahnya. Selain itu beberapa kakak tertua yang usianya berbeda jauh denganku satu per satu telah pegi meningglkan desa untuk bekerja, menjadi tentara, atau karena menikah dengan orang dari luar Kabuh. Bahkan untuk kakak-kakak wanitaku yang telah menikah dengan orang Kabuh sehingga tidak lagi tinggal di rumah, aku tak kenal. Keluarga hanyalah ikatan darah yang implementasinya dalam kehidupan tidak terlalu penting. Komunikasi terstruktur sesuai dengan peran seseorang diantara anggota keluarga lain nyaris terabaikan. Yang kutahu hanya sebatas Emak dan Bapak, ditambah beberapa saudara yang pernah hidup di rumah kami pada dekade awal hidupku. Tapi ada perkecualian: Satu-satunya saudara yang tidak memenuhi syarat tersebut yang kukenal adalah Mbak Darmi, kakak tertuaku yang sejak kecil dipungunt oleh seorang saudagar kaya di Jombang. Meskipun tinggal di Jombang tetapi Mbak Darmi rutin mengunjungi Mak dan Bapak. Mbak Darmi adalah satu-satunya orang dari luar Kabuh, atau setidaknya dari luar desa yang kukenal.

Suatu hari Mbak Darmi pernah mengajakku untuk tinggal selama beberapa hari di Jombang. Mungkin saat itu usiaku sekitar lima atau enam tahun. Tawaran itu kusambut gembira. Mak dan Bapak pun mengizinkan. Aku bagaikan hewan liar yang keluar dari hutan. Euforia kampungan karena untuk pertama kali aku bisa melihat dunia sedikit lebih luas. Sedikit keluar dari desa dan Kabuh. Dari Kabuh kami menaiki kereta. Rangkaian kereta itu sebenarnya adalah gerbong barang yang dialihfungsikan menjadi kereta penumpang. Kendaraan seperti itu bagiku terlalu canggih. Rangkaian besi tua yang mampu melaju cepat dengan ratusan orang di punggungnya. Rasa penasaranku semakin tumbuh untuk melihat dunia lebih jauh.

Suatu malam seorang kakakku yang belum pernah kutemui sebelumnya berkunjung ke rumah Mbak Darmi. Ia cukup senang bisa bertemu dengan saudara bungsunya. Keesokan harinya laki-laki yang bernama Nasirun itu datang lagi dan mengajakku bertamasya ke tempatnya bekerja. Jika sebelumnya yang ada di referensiku tentang bekerja adalah kuli, pekerja kasar, dan harus memeras keringat, kali ini yang tersaji adalah arti lain dari bekerja: pelayan atau setidaknya dalam lingkup baru yang kukenal, yaitu entertinment. Tempat kerja Mas Sirun adalah rumah bola[6] yang menjadi arena pesta para meneer[7] dan nonik[8] Belanda. Selangkah lagi aku bisa melihat kemajeukan isi dunia.

Dalam keseharian di desa pakaian yang kukenakan adalah kain goni yang dijahit hingga bisa membungkus badan. Kain itu juga menjadi tempat tinggal kutu atau serangga sejenisnya yang bersimbiosis parasitisme[9] denganku. Mustahil menghilangkan kutu itu karena kuantitas dan mobilisasi mereka. Kain goni yang tebal bagaikan bunker bagi kutu. Dengan sekedar dicuci pasukan kutu tidak akan pergi. Atau sekalipun pergi dengan cepat mereka akan kembali. Kondisi itu diperparah dengan belum lazimnya dipakai pakaian dalam terutama untuk anak-anak. Namun aku sudah biasa merasakan gatal akibat gigitan kutu. Jika tidak ada kutu yang bergerilya di badan rasanya malah aneh. Tapi selama di Jombang Mbak Darmi meminjamiku pakaian dari kain yang lebih layak untuk manusia milik keponakan tirinya. Pakaian itu pun kukenakan ketika pergi ke rumah bola sehingga lebih layak berada dalam satu area bersama para meneer dan nonik.

Para meneer dan nonik itu tampak asing bagiku. Kulit mereka putih. Secara fisik mereka jauh berbeda dari manusia yang selama ini kulihat. Termasuk diriku sendiri dengan kulit sawo matang, dekil pula. Bahasa mereka pun aneh. Aku sempat berpikir bahwa mereka bukan manusia. Mungkin semacam dewa atau makhluk ghaib yang sedang relaksasi dari keghaibannya dengan berpesta. Apalagi manusia-manusia yang berjenis sama denganku nampak sangat hormat kepada mererka. Tapi asumsi itu terbantahkan ketika tanpa sengaja seorang nonik kecil berusia seusiaku tiba-tiba menghampiriku. Tatapan matanya tajam bagai sebuah senjata yang mampu menusuk indera penglihatan lawannya. Ia melihat kutu atau serangga yang menempel di pakaianku kemudian mengambilnya. Rupanya di negerinya sana ia tidak pernah melihat kutu. Setelah itu aku tahu bahwa dia adalah manusia sama sepertiku. Kami tertawa bersama bercengkrama dalam miskomunikasi fundamental karena perbedaan bahasa.

Di tengah pesta Mas Sirun memberiku kuliah singkat dan kurang mengena. Ia menjelaskan bahwa para meneer dan nonik adalah tuan dan nyonya. Aku tidak boleh terlalu lancang. Ah persetan dengan itu semua. Gadis kecil dari desa terpencil di pelosok Kabuh ini telah bergaul dengan warga dari belahan dunia lain. Masuk ke dalam secuil arus globalisasi. Enjoy this party!

Ketika pulang barulah aku mendapatkan pengetahuan lebih masuk akal tentang meneer dan nonik dari Mbak Darmi. Mereka adalah bangsa lain yang ingin merebut tanah kita. Setidaknya poin itu yang bisa kutangkap.

Sisa hari-hariku di Jombang aku jadi lebih melek tentang Londo[10]. Jika ada hal baru yang ingin kuketahui tentang bangsa kulit putih itu segera kutanyakan kepada Mbak Darmi. Ketika perjalanan pulang ke Kabuh pun aku sempat bertanya tentang kereta api. Mbak Darmi memang tergolong wanita berpendidikan. Ia memperoleh pendidikan memadai hingga MULO (setingkat SMA). Wanita paling cantik diantara semua saudaraku itu seolah menjadi ensiklopedia hidup. Tentang kereta api beliau menjelasakan bahwa kereta dan jalurnya dikelola oleh Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS)[11]. Tetapi pembangunan jalurnya dilaksanakan oleh masyarakat kita melalui kerja rodi yang terjadi pada masa pemerintahan Daendels sekitar pertengahan 1700 hingga pertengahan 1800. Begitu juga Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels yang merupakan hasil dari kerja rodi[12]. Jalan sepanjang 1.000 kilometer ini membentang di pantai utara Jawa dari Anyer sampai Panarukan. Ketika mulai digunakan pada 1809 jalan ini telah menjadi infrastruktur penting transportasi di Jawa. Bahkan pada era itu selesainya pembangunan Jalan Raya Pos adalah sebuah prestasi besar, bisa dibilang setara dengan Jalan Raya Paris-Amsterdam di Eropa. Namun dibalik prestasi yang mebuat nama Maarshalk en Gouverneur Generaal, Mr. Herman Willem Daendels terkenal itu tersimpan certita kelam.

Meskipun begitu persepsiku terhadap Londo tidak berubah. Bagiku mereka adalah bangsa yang hebat karena mampu membuat kereta. Penyebabnya adalah karena aku belum meminta dan mendapatkan penjelasan tentang arti bangsa dan penjajahan.

2

Pagi itu dengan semangat Bapak mengajakku pergi ke hutan untuk mencari kayu. Beliau ingin memperlihatkan kepadaku bagaimana salah satu usahanya mencari nafkah atau sekedar mencari instrumen untuk mengepulkan dapur. Perbukitan di wilayah Kabuh banyak ditumbuhi Pohon Jati. Ketika musim kemarau pohon itu menggugurkkan daunnya sehingga mudah bagiku untuk mengambil ranting-rantingnya.

Pada musim kemarau berikutnya aku nekat pergi ke hutan hanya bersama Mbak Na, kakak perempuan yang usianya tidak berbeda jauh denganku. Kami terlalu ekstrim untuk ukuran bocah Kabuh. Apalagi gadis. Enginered for adventure, rasanya tepat mewakili arsitektur kepribadian kami. Tujuan kami mencari kayu adalah untuk dijual atau digunakan sendiri sebagai alat memasak. Tetapi kata dijual sebenarnya layak direduksi dari daftar tujuan mencari kayu. Kenyataannya sangat sulit menjual kayu itu di Kabuh. Berjalan kaki ke Ploso yang berjarak 20 kilometer dari Kabuh harus ditempuh untuk sekedar mencari calon pembeli. Dan hal itu sama sekali tidak pernah kami lakukan.

Jangan bayangkan pergi ke hutan di Kabuh adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Sama sekali berbeda dengan surga tropis seperti yang ada di wilayah lain nusantara. Apalagi agendaku pergi ke hutan adalah setiap musim kemarau. Ketika hutan Kabuh bagaikan padang pasir yang ditumbuhi pohon Jati yang sedang gundul tanpa sehelai pun hijau daun. Sengatan matahari ekstrim, pohon peneduh yang minim karena pepohonan sedang meranggas, tumupkan daun kering berwarna coklat yang terhampar bagai permadani seluas hutan, dan debu yang setiap saat masuk ke paru-paru adalah ikon-ikon di hutan Kabuh. Tapi pergi ke hutan tetap menjadi sesuatu yang menyenangkan. Setidaknya bagi aku dan Mbak Na, dua gadis kecil yang minim aktivitas berarti. Dan kami adalah potret yang mewakili kehidupan anak-anak di Kabuh saat itu. Tidak ada yang peduli dengan sekedar aktivitas apa yang harus kami lakukan sebagai anak-anak, apalagi pendidikan! Bagi para gadis bahkan hidup lebih singkat dan setidaknya menurutku suram. Sedini mungkin menikah adalah solusi logis. Selanjutnya hingga masa tua kegiatan wanita hanya manak, masak, dan macak[13].

Pada musim kemarau ketiga setelah debutku sebagai gadis hutan, aku mengalami kejadian yang membutaku sedikit bertobat dari kenalakan dan kenekatan. Sore itu kami beristirahat sejanak di tepi sungai di tepi hutan Jati. Seharian menjelajahi hutan kami hampir tidak mendapatkan sedikit pun kayu kering. Teoriku dan Mbak Na sama sekali salah. Kami berpikir kenapa orang-orang belum juga pergi ke hutan padahal musim kemarau telah tiba, meskipun baru di awal. Kami pun pergi ke hutan dengan satu keyakinan bahwa semua kayu di hutan akan menjadi milik kami. Teori bodoh itu pun terbukti bodoh. Pohon Jati belum meranggas. Tak sedikit pohon yang masih tampak perkasa dengan daun hijaunya yang lebar. Alhasil perburuan kami gagal.

Dalam aura kegagalan kami beristirahat di tepi sungai. Suasana sedikit lebih teduh karena banyak tanaman dan pepohonan khas tropis. Lebar sungai itu kira-kira 20 langkah kakiku. Saat itu debit air masih cukup tinggi Karena musim kemarau baru berlangsung beberapa hari. Belakangan kuketahui sungai itu adalah anak sungai Brantas. Tiba-tiba dari atas bukit mengalirlah air yang cukup deras. Aku hampir tewas karena terbawa arus sungai. Aku selamat setelah berusaha sekuat tenaga berpegangan pada batang pohon yang juga hanyut dan kemudian ditolong oleh seorang warga ketika aliran sungai itu melewati perkampungan tak jauh dari tempatku dan Mbak Na istirahat. Dan aksi perdanaku sebagai pencari kayu gagal karena sedikit kayu yang kami dapat juga hanyut di sungai.

*****

Mandi di sungai juga menjadi kegiatan favoritku. Tapi setelah aku hampir tewas di sungai hutan, perasan trauma otomatis muncul. Sungai bukan lagi tempat yang aman dan nyaman bagiku. Alternatifnya adalah blumbang atau kubangan air besar yang pada musim hujan menjadi danau.

Tidak ada renang gaya bebas, gaya kupu-kupu, gaya dada, ataupun gaya katak. Kami hanya berenang mengikuti insting. Di bidang ini aku mempunyai seorang kawan dekat bernama Paidi. Paidi adalah seorang perenang hebat di kalangan anak-anak desa. Mungkin jika ia hidup pada akhir abad XX medali emas Asian Games bisa ia raih.

Paidi bagaikan siluman air yang terbungkus tubuh manusia. Kulit coklat dengan gradasi seirama hingga cenderung berwarna hitam, tubuh kurus yang tidak proporsional dengan tinggi badannya, dan rambut keriting. Dialah Paidi si raja blumbang.

Tidak semua anak di desaku menggemari kegiatan ini. Bahkan Mbak Na pun jarang mau kuajak mandi di Blumbang. Bagi yang sudah memasuki masa puber memang berenang di Blumbang sedikit menjadi pantangan. Penyebabnya adalah kami harus telanjang. Dan tentu saja hal ini menjadi masalah bagi anak-anak yang alat kelaminnya sudah ditumbuhi rambut, atau bagi gadis yang sudah menstruasi dan payudaranya mulai tumbuh.

Saking akrabnya dengan Paidi, dari perspektif sekarang mungkin ia bisa disebut sebagai cinta pertamaku. Cinta anak monyet dari pelosok desa di wilayah Kabuh. Tetapi karena belum ada pengaruh sinetron, keakraban itu pun kami jalani tanpa muatan tertentu.

3

Memasuki tahun 1942, dengan strategi blitzkrieg[14] tentara Nazi[15] Jerman telah menguasai Polandia. Swiss, Austria, bahkan Belanda dan Prancis berhasil diduduki. Setelah itu mereka semakin bergerak ke timur dan melanggar pakta untuk tidak saling menyerang yang pernah ditandatangani oleh Hitler[16] dan Stalin[17]. Target Nazi semakin jelas: menguasai Rusia dengan target awal menduduki kota Stalingard dan Leningard[18].

Holocaus yang kebenarannya banyak dipertanyakan adalah satu cerita kelam yang konon menyertai Perang Dunia Kedua ( PD II ). Jerman yang merasa sebagi ras paling mulia di muka bumi membantai jutaan warga Yahudi yang dianggap sebagai ras rendahan di kamp-kamp konsentrasi[19] yang banyak dibangun di sekitar Polandia, Austria, dan pinggiran Jerman.

Di Asia Pasifik suasana peperangan tak kalah semarak. Serangan angkatan udara Jepang ke Pangkalan Militer Amerika di Pearl Harbour telah menabuh gong dimulainya perang. Agresivitas Jepang di Asia Tenggara juga semakin nyata. Nippon telah menguasai Burma, Malaysia, dan nusantara. Inilah Jepang pasca Restorasi Meiji[20], satu-satunya negara dari luar Eropa dan Amerika yang bertindak sebagai agresor.

Terjadi penyerahan kekuasaan secara paksa dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda kepada Jepang. Setelah itu dimulailah era penjajahan Dai Nippon, “saudara tua” bangsa kita, yang bagi sebagian besar rakyat Indonesia justru dianggap sebagai era penuh penderitaan.

*****

Sepulang dari study tour ke Jombang, aku sedikit merasa bosan dengan kehidupan di desa. Terutama dalam dalam stagnansi. Aku tidak pernah mengenyam pendidikan SR[21] atau sekedar bentuk sekolah dasar lain yang lebih merakyat dan lebih realistis bagiku. Bahkan hanya untuk sekedar membayangkan seperti apa sekolah itu. Tapi pengetahuanku tentang Londo telah menyemai banyak pertanyaan di otakku. Salah satunya adalah tentang Kartini. Aku pernah mendengarnya dari Mbak Darmi. Menurutnya Kartini adalah wanita yang hebat. Tokoh wanita yang berjuang memajukan kaumnya. Agar wanita Indonesia tidak lagi tertindas. Yang ada di pikiranku Kartini adalah wanita perkasa. Berotot kawan tulang besi yang bisa memimpin perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah. Dalam imajinasiku yang terbentuk karena lingkungan masyarakat yang masih sangat terbelakang, kuat dan hebat berarti perkasa.

Dengan referensi minim aku mencoba membuat analisis. Tentang penjelasan bahwa Londo adalah bangsa lain yang merebut tanah kita. Pernyataan ini awalnya kuhiraukan karena kekagumanku terhadap Londo yang mampu membuat kereta api. Tapi terkait dengan Kartini timbul pertanyaan dalam benakku. Apakah Londo memang harus dilawan seperti yang dilakukan oleh Kartini? Jika iya berarti kami kaum wanita harus menjadi perkasa seperti dia. Berotot kawat tulang besi. Ah, itu sangat menyeramkan…

Hari-hari berikutnya aku sudah kembali terdefinisi sebagai warga desa yang normal. Tanpa pikiran-pikiran yang tidak normal untuk ukuran gadis desa.

*****

Efek dari agresivitas Jepang ternyata berimbas ke pelosok desaku. Kami memang tidak up-date informasi soal Perang Dunia II. Tapi kami bisa merasakan eksesnya dan mengetahui bahwa perubahan telah terjadi. Berbeda dengan era Belanda, tentara Jepang jauh lebih aktif melakukan mobilisasi hingga pelosok desa terpencil.

Ketika pertama kali Jepang memasuki desa, kami menyambutnya dengan suka cita. Kabar burung yang beredar mereka adalah saudara tua kita yang telah mengusir Londo. Secara fisik pun mereka tidak berbeda jauh dengan kita. Hanya mata sipit dan lagi-lagi bahasa yang menjadi pembeda antara kaum pribumi dengan Jepang.

Tapi asumsi positif itu langsung terbantahkan ketika kami melihat sikap mereka yang kejam. Beberapa laki-laki desaku dibunuh tanpa alasan yang jelas. Perlawanan atau sekedar berpikir untuk melawan. mustahil dilakukan karena warga desa sama sekali tidak bersenjata. Sangat kontradiktif dengan Jepang. Setiap pasukan dilengkapli senapan lengkap dengan bayonet[22], dan kompi yang pertama kali masuk ke desak itu juga membawa beberapa kendaraan pengebom.

Setelah itu mereka mengumpulkan semua warga desa di lapangan. Aku sempat menghadiri apel di lapangan itu. Aku tidak tahu tentang pembunuhan. Juga tidak bisa membaca bahasa tubuh kepanikan massal warga desaku. Tapi dari perspektifku siang itu adalah siang yang ramai. Seperti karnaval orang-orang yang sama sekali belum pernah kulihat. Dengan pakaian dan perlengkapan yang aneh pula. Mereka keren…Sejak saat itu dimulailah era penjajahan Dai Nippon di kampung kami.

Setelah kejadian penting pada hari itu, kami seolah mempunyai rutinitas baru. Jika mendengar suara sirine, semua warga desa segera berbondong-bondong menuju ke pohon asam yang terkenal angker. Suara sirine adalah suara mobil-mobil patroli Jepang.

Jika suara sirine terdengar seluruh warga desa langsung mematikan alat penerangan di rumah yang hanya berupa oblek[23]. Dalam kegelapan kami bergegas menuju tempat meletakkan sesajen itu untuk berlindung. Bagi masyarakat di daerah terpencil seperti Kabuh yang sebagian masih menganut animisme[24] dan dinamisme[25], pohon asam itu dianggap mampu memberikan perlindungan. Lokasinya memang memenuhi syarat untuk dapat dikatakan keramat: terletak di ujung desa di tepi hutan dan seperti terisolasi dari kehidupan luar. Tapi itu adalah pilihan terbaik daripada harus bertaruh nyawa tinggal di kampung yang setiap saat bisa menjadi korban messiu atau tusukan bayonet Jepang.

Suatu hari entah apa penyebabnya terjadi parade suara ledakan yang meriah. Tak henti-hentinya suara ledakan terdengar dari segala penjuru mata angin. Suasana seperti itu sangat menyenangkan bagiku.

Sudah sejak sore kami belindung di pohon asem. Menjelang tengah malam suara ledakan terdengar semakin dekat dari posisi kami. Karena itu entah siapa yang memberi komando kami bergerak meuju Gunung Joso untuk mencari tempat berlindung yang lebih aman.

Yang benar saja, kemeriahan parade ledakan ini semakin dekat. Kenapa kami justru harus menjauh? Pikiran tololku kembali bertingkah tolol. Sepersekian detik setelah itu aku mengalami sebuah peristiwa dahsyat. Pengalaman yang terlupkan dan membuatku berada pada batas paling tipis antara hidup dan mati.

Dalam hitungan mili detik kudengar suara yang meunjukkan bahwa sebuah materi sedang melaju dengan velocity[26] tinggi ke arah kami. Pada sebuah momentum terjadi ledakan dahsyat yang hanya berjarak beberapa meter dariku. Menghancurkan pohon asem yang selama ini diberhalakan oleh sebagian warga desa. Jika mau dan bisa berpikir logis seharunya para pengenut animisme dinamisme saat itu sadar bahwa pohon asem pun tak mampu melindungi dirinya sendiri. Apalagi melindungi seluruh warga desa.

Telingaku serasa tuli seketika. Dan detak jantungku seolah berhenti sejenak sebelum kemudian berdetak jauh lebih cepat. Pandangan mataku terlalu primitif untuk menyaksikan pemandangan sedahsyat itu. Ledakan! Merah menyala di kegelapan yang nyaris sempurna. Aku tidak tahu tentang korban akibat ledakan itu karena Bapak segera menggendongku dan berlari. Dalam kegelapan di dalam hutan, sangat sulit untuk menentukan arah mata angin. Tidak kompas ataupun rambu-rambu penunjuk jalan. Tapi meskipun tidak mengenal IPTEK, masyarakat desa sudah bisa memanfaatkan rasi bintang sebagai penunjuk arah sehigga bisa mengetahui kemana arah tempat yang akan kami tuju. Cukup dengan mengetahui dua rasi bintang. Layang-layang yang menunjukkan arah selatan dan Waluku yang menunjukkan arah utara. Selanjutnya dua arah mata aingin pokok lainnya bisa diketahui.

Aku terlalu takjub dengan ledakan hingga tak sadar bahwa Bapak telah membawaku pergi ke tempat yang jauh dari pohon asem yang telah diledakkan itu. Suara ledakan tidak lagi terdengar. Kami sempat beristirahat di tempat yang beberapa kali lipat lebih tinggi dari tempat kami semula. Selain aku, Mak, dan Bapak hanya ada beberapa orang yang kulihat di rombongan ini. Semuanya diam. Panik bercampur sedih karena kehilangan anggota keluarganya. Aura itu yang bisa kutangkap. Setelah itu aku baru sadar bahwa Mbak Na tidak ada bersama dala rombongan kecil ini. Namun aku hanya berani diam.

Suara ayam berkokok telah terdengar. Diiringi rona merah dari sang surya yang masih malu-malu menampakkan wujudnya. Cahaya matahari yang terdipersi dan memberikan pemandangan yang sangat indah. Lansekap yang sangat indah tanpa sedikit pun celah monoton. Negeri yang elok…

Matahari terbit yang kusaksikan tidak berubah. Setiap hari dengan skenario seperti itu sang mentari menampakkan wujudnya ke dunia. Selalu indah. Entah seperti apa negeri matahari terbit itu…

Pagi itu kami berjalan. Entah kemana aku tak tahu. Semunya nyaris dilakukan tanpa bahasa lisan. Aku hanya ikut melangkahkan kaki. Mengikuti kemanapun rombongan ini akan membawaku pergi.

Gungung Joso. Begitu orang-orang di kampung kami menyebut tempat yang akan kami tuju. Sebenarnya menurut tinjauan geologi vulkanis tempat itu belum layak mendapatkan predikat sebagai gunung. Ia hanya sebuah bukit. Namun menjadi bukit tertinggi diantara bukit-bukit di wilayah Kabuh dan sekitarnya. Ketinggian seuatu tenpat merepresentasikan kemuliaannya. Dan tempat itu dianggap seperti Mekkah bagi agama animisme dinamisme oleh warga seantero Kabuh. Gunung Joso seolah menjadi harapan terakhir bagi kami untuk berlindung dari meriam-meriam Jepang. Secara logika juga Jepang akan semakin sulit menjangkau tempat yang tinggi ini sehingga kami lebih aman.

Rupanya puluhan orang telah tiba lebih cepat di Gunung Joso daripda rombonganku. Tak kami kira rupanya Mbak Na telah berada di sana. Pertemuan itu sangat mengharukan karena sebelumnya Mak dan Bapak yang mengira Mbak Na telah tewas.

Hari-hari pertama di Gunung Joso kami lalui dalam penderitaan. Suasana gelap sempurna di malam hari dan kelaparan adalah pendamping yang paling setia. Namun setelah itu beberapa lak-laki mulai mencari sumber makanan dengan pengetahuan survival[27] seadanya. Mereka berhasil menemukan sumber air yang membuat kami selamat dari kematian. Hari-hari pertama makanan yang kami makan adalah hewan hasil perburuan darurat di hutan seperti tupai dan ayam hutan serta tumbuhan hutan yang layak dimakan. Setelah lewat seminggu kami bisa makan bubur kaji[28] setelah ada ada pasokan tepung sagu. Aku tidak banyak tahu tentang distribusi bahan makanan itu karena waktuku di hutan lebih banyak kugunakan untuk bermain.

Setalah berhari-hari mengungsi di Gunung Joso, kami mulai kembali ke desa. Kami tidak membaca Koran, melihat televisi, apalagi internet. Tapi entah darimana informasi itu berasal, kami pun kembali ke desa karena mendengar kabar desa telah aman.

Hari-hari bersama Jepang belum berakhir. Mereka kembali datang ke desa beberapa bulan setelah agresi paling dahsyat itu. Saat itulah mereka merekrut beberapa pemuda desa untuk menjadi anggota Keibodan[29]. Tiga tahun penjajahan Jepang di nusantara diwarnai dengan berdirinya sekolah sekolah kemilitaran. Selain keibodan Jepang juga membentuk Heiho[30] dan berbagai organisasi kemilitiren lain. Mereka dilatih dan dipersenjatai, serta didoktrin seolah-olah bangsa kita harus beretrima kasih kepada Jepang. Tujuan jangka menengah dari pembentukan organisasi ini adalah sebagai tentara bantuan jika sewaktu-waktu Perang Asia Timur Raya berkecamuk. Dengan dalih sebagai saudara tua, bangsa kita harus membantu Jepang. Propaganda seperti ini juga diterapkan oleh Jepang kepada negara jajahannya yang lain di wilayah Asia Tenggara dengan kemasan yang menarik, Gerakan 3A: Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang pemimpin Asia.

Banyak pemuda desa yang tertarik menjadi tentara dan mendaftar sebagai anggota Keibodan ketika militer Jepang berkunjung ke desa. Namun mayoritas ditolak karena banyak pemuda desa kami yang kekurangan gizi. Dalam kondisi seperti itupun Jepang masih memperhatikan kualitas calon tentaranya. Selain itu jga juga terus menjaring warga untuk bekerja romusha, kerja paksa mirip kerja rodi di masa Belanda. Obyek perkerjaannya juga tidak jauh berbeda misalnya pembangunan jalan. Dan warga desa kami lebih banyak yang direkrut untuk romusha daripada anggota Keibodan. Sialnya sebagian tenaga romusha ada yang dikirim ke Burma untuk berkerja disana dan sampai beberapa dasawarsa kemudian mereka tidak pernah kembali ke tanah air. Jepang juga memindahkan beberapa jalur kereta api di Pulau Jawa ke Burma. Jika tahu jalur kereta dicuri, mungkin aku akan sangat sedih. Sejak pertama melihatnya, aku telah menjadi penggemar berat kereta api buatan Belanda

Suatu hari datang satu kompi tentara Jepang di desa. Aku tak banyak tahu apa yang mereka lakukan di lapangan. Mungkin tidak jauh-jauh dengan rekruitmen Keibodan dan romusha. Saat itu aku sedang menemani Paidi menggembala kerbau dan kambing. Tanpa seizin Paidi beberapa orang tentara Jepang datang dan mengambil seekor kambing. Paidi tidak berani melawan karena ia hanya bocah berusia 11 tahun. Ternyata kambing itu disembelih untuk mereka makan. Rutinitas seperti itu terus mereka ulangi. Jika tentara Jepang datang, harus ada warga desa yang mengorbankan gembalaannya.

Aku mepunyai persepsi bahwa Jepang rakus. Mereka mempunyai selera makan yang mewah. Beberapa kali aku dan Mbak Na diperintah oleh tentara Jepang untuk mencarikan telur. Karena perbedaan bahasa mereka meberikan perintah melalui isyarat dengan menggerakkan tangannya di pantat. Isyarat itu awalnya sulit kami mengerti. Justru kami merasa lucu melihat tingkah para tentara sipit itu. Namun setelah bisa mengerti perintah itu, kami seolah menjadi juru penyedia telur untuk tentara Jepang setiap mereka datang ke desa.

Satu hal yang unik dari tentara Jepang adalah tentang Joko Telik[31]. Suatu hari setelah memberikan telur mereka menyuruhku mencarikan Joko Telik. Biji kecil berwarna merah kombinasi hitam itu memang banyak ditemukan di sisi hutan. Entah untuk apa Joko Telik bagi orang-orang bermata sipit seperti mereka.

4

Sore itu ketika pulang dari tempat bermainku di ujung desa, Mbak Na mengatakan bahwa Bapak telah pergi dan aku tidak akan bisa bertemu lagi dengannya. Aku belum paham arti kematian. Bagiku setiap manusia memang habitatnya di dunia. Jika Bapak hidup di Kabuh berarti kemanapun dia pergi pasti akan kembali ke Kabuh. Aku sama sekali tidak sedih karena masih belum percaya dengan kematian. Apalagi Bapak sudah dikuburkan sebelum aku datang sehingga aku sama sekali tidak pernah melihat jasadnya, melihatnya dalam kondisi meninggal. Yang ada hanya orang-orang di rumah dengan raut muka sedih. Namun aku tetap tertawa ceria karena pada hari itu cukup puas bermain bersama anak-anak dari desa sebelah.

Emak menyusul Bapak ke alam baka beberapa hari setelah meninggalnya Bapak. Saat itu kepercayaanku terhadap kematian mulai naik satu tingkat. Suasana rumah yang secara drastis menjadi sepi sepeninggal Emak menjadi salah satu pemicunya. Tapi aku baru sebatas berpikir bahwa manusia bisa pergi. Entah pergi kemana…

Tentang Agama tidak banyak yang kuketahui. Aku tidak terlalu kenal Muhammad meskipun pernah mendengarnya, apalagi Yesus, begitu juga dewa-dewa Hindu dan Budha. Karenamya tidak banyak filsafat tentang hidup, mati, dan kehidupan sesudahnya yang kuketahui. Dan hal ini tidak hanya terjadi padaku. Tetapi sebagian masyarakat desaku. Lagi-lagi alasan geografis yang menjadi penyebabnya. Ketika Hindu-Budha populer di nusantara pada abad keenam hingga tujuh, dan diwarnai dengan silih bergantinya muncul kerajaan, desaku terlalu terpencil hingga tidak mendapatkan efek dari kepercayaan ketuhanan itu. Begitu juga ketika para saudagar dari Gujarat[32] membawa islam ke tanah Jawa melalui pintu masuk peisir utara Jawa, desaku belum sepenuhnya bebas dari kebodohan soal agama. Padahal makam beberapa sunan yang termasuk dalam walisongo[33] letaknya tidak terlalu jauh dari Kabuh. Yang paling dekat adalah Sunan Drajat yang dimakamkan di perbatasan Lamongan-Tuban yang lokasinya juga di perbukitan terpencil. Selain itu di pusat kota Tuban juga terdapat makam Sunan Bonang. Sedikit ke timur tepatnya di Gresik selain terdapat makam Sunan Giri, kita juga akan menjumpai makam sunan tertua di antara Walisongo, yaitu Sunan Maulana Malik Ibrahim. Dan jika mau lebih ke timur lagi, tepatnya di Surabaya terdapat makam Sunan Ampel, salah satu sunan terbesar pada era walisongo. Dari fakta di atas sepertinya bisa ditarik simpulan bahwa kemungkinan besar syiar islam walisongo pernah sampai ke desaku. Apalagi kota Jombang yang saat itu terkenal sebagai kota santri letaknya tidak terlalu jauh dari Kabuh. Di kota itu telah tumbuh imperium islam modern, Nahdatul Ulama yang didirikan oleh KH. Hasyim Asyari. Tapi tidak ada yang bisa mejelaskan secara pasti kenapa sebagian desa ini menutup diri untuk bisa menerima revolusi di bidang agama. Saat aku lahir mungkin 45% warga masih menganut animisme dinamisme yang bercampur atheisme alami. Selebihnya adalah pemeluk islam dengan kadar keislaman rendah. Terdapatnya sekitar 55% pemeluk islam ini sebagian diakibatkan oleh akulturasi budaya setelah ada warga desa yang keluar dari desa kemudian kembali. Salah satunya adalah Bapak. Namun tetap saja aku setengah atheis karena transfer keislaman dari bapak kepada anaknya sangat minim. Ditunjang dengan kadar keislaman Bapak yang juga minim. Diperparah lagi oleh tabiatku yang terlalu sulit menerima sesuatu jika otakku yang kemampuannya sangat terbatas belum bisa menalarnya. Islam masih terlalu imajinaer bagiku, tidak ada yang pernah memberikan penjelasan yang menurutku logis. Hal ini sering membuat Bapak dan Mak marah kepadaku. Di mata mereka aku terlalu membangkang. “Ndok[34], kowe iku arep dadi opo? ora tau shalat!”[35], suatu hari Bapak berkata demikian kepadaku. Tapi bagiku apalah artinya shalat, hanya jungkir balik seperti orang bodoh.

Sebelum meninggal Bapak pernah becerita padaku tentang surga dan neraka. Bagiku dua hal yang kontradiktif itu lebih efektif untuk menyuruhku shalat. Anak kecil seusiaku tentu saja mudah percaya dengan surga dan neraka. Dan tentu saja piliahnku adalah surga. Aku terlalu takut dengan cerita tentang api neraka, kemudian jika tubuh kita telah hancur disiksa, maka kita akan dihidupkan lagi, kemudian disiksa lagi. Ketakutan itu mampu mengeliminasi akal “kurang” sehatku yang biasanya membangkang. Pada hari itu juga aku pergi ke surau sederhana di tengah desa untuk menunaikan shalat. Hanya ada satu surau di desaku. Bangunannya sangat sederhana. Material penyusunnya sama dengan rumahku, namun sedikit lebih tidak terawat. Sebagai alas ketika shalat digunakan tikar yang terbuat dari ranting-ranting kering. Gubuk reyot itulah satu-satunya majelis keagamaan di desaku. Shalat lima waktu dalam sehari tidak rutin digelar. Shalat yang tidak pernah ditinggalkan dan paling ramai adalah shalat maghrib, setelah itu shalat Isya. Shalat Subuh juga hampir selalu digelar. Dua shalat lainnya seolah hidup segan mati tak mau. Kadang aku kasihan juga jika ada muadzin yang melantunkan adzan sebagai panggilan shalat Ashar. Di desa kami ada tradisi di antara Adzan dan Iqamat dilantunkan pujian yang disadur dari syair Sunan Kalijaga hingga Abunawas. Sang muadzin pun melantunkan pujian itu sambil menunggu jamaah datang. Namun hingga cukup lama menunggu kadang jamaah tak kunjung datang. Terpaksa ia shalat sendirian. Karena itu seperti yang pernah dikatakan oleh Paidi, pilihan paling realistis bagi anak laki-laki adalah menjauhi surau ketika waktu-waktu shalat yang tidak populer. Tentu saja tujuannya untuk menghindari tugas adzan yang kadang bisa membuat sakit hati.

Akulturasi agama dengan budaya tentu saja tak terhindarkan. Islam Kejawen, sebuah perpaduan antara ajaran Islam dengan budaya Jawa. Pengetahuan tentang akidah islam yang minim dan tercampur dengan budaya potensial melahirkan Bid’ah[36]. Realisasinya bisa dilihat melalui selamatan 7 hari, 40 hari, 10 hari, hingga 1000 hari ketika ada orang yang meninggal. Bentuk yang lebih ekstrim lagi terdapat beberapa orang yang kepercayaannya sedikit mirip dengan ajaran Syekh Siti Jenar[37]: “Manunggaling ing Tuladha, Manunggaling ing Karsa[38].” Mereka tidak shalat karena percaya bahwa Allah ada dalam diri setiap manusia.

5

Menjadi yatim piatu di desa itu cukup memperburuk kondisiku dan Mbak Na. Setelah meninggalnya Mak dan Bapak aku dan Mbak Na dirawat oleh Pakde yang rumahnya bersebelahan dengan rumah kami. Suatu hari pilihan realistis menyangkut nasib kami diputuskan oleh Pakde: menikahkan Mbak Na. Kebetulan saat itu seorang pemuda juga telah mengutarakan niatnya untuk menikahi Mbak Na. Umurnya tidak berbeda jauh dengan Mbak Na dan berasal dari keluarga islam yang paling taat di desa. Selama ini sepak terjangnya di desa juga tergolong baik. Mamat, begitu pemuda yang aslinya bernama Ahmad ini biasa dipanggil.

Proses pernikahan begitu cepat. Aku lebih banyak diam menyikapi pernikahan Mbak Na. Hidupnya telah berakhir. Dalam diam aku merenung, yang kemudian berujng pada kekhawatiran. Hanya tinggal aku dari sekian bersaudara yang masih hidup dan belum menikah. Selanjutnya adalah giliranku. Tidak! Aku masih ingin melihat dunia lebih jauh. Melihat seperti apa negeri Londo atau Dai Nippon. Aku ingin belajar cara membuat kereta. Aku jaga ingin menjadi wanita yang disegani seperti Kartini. Hidupku tidak boleh berakhir seperti gadis-gadis lain di desa. Meskipun aku belum belum pernah membaca literatur tentang Napoleon Bonaparte, tapi sepertinya aku sependapat dengan ucapannya, “Tugas pertama seorang revolusioner adalah meloloskan diri.” Namun apa dayaku untuk bisa lolos dari kondisi ini?

*****

Bulan Desember 1944 pasukan sekutu yang dipimpin oleh AS dan Inggris melakukan pendaratan besar-besaran di Normandia, Prancis. Sekitar dua juta tentara memasuki Eropa pada dini hari hingga pagi bersejarah itu melalui laut dan udara. Disambut berondongan peluru dari tentara Nazi Jerman yang sebelumnya telah menguasai sebagian besar Eropa daratan, termasuk Prancis. Rekor yang fantastis untuk kuantitas manusia yang terlibat dalam satu titik perang. Di AS sendiri saat itu jutaan warganya dikenakan wajib militer untuk terus menambah pasukan AS di berbagai medan pertempuran. Agresi sekutu tersebut didahului dengan pertemuan antara Presiden AS Franklin D. Roosovelt, PM Inggris Winston Churcil, dan Presiden Uni Soviet Joseph Stalin di Yalta, Ukraina. Ketiga negara yang mempunyai kekuatan militer terbaik di dunia tersebut sepakat untuk berjalan di satu pihak yang sama pada PD II dan kemudian muncullah istilah blok sekutu. Yang dihadapi oleh oleh sekutu adalah poros, kongsi tiga negara utama yang berfaham fasis[39]: Jerman, Italia, dan Jepang di timur jauh. Kekuatan utama yang terlibat dalam Perang Asia Pasifik Raya adalah Jepang dan AS dengan medan laga sangat besar yaitu Samudera Pasifik, juga Uni Soviet yang berselisih dengan Jepang perihal Semenanjung Siberia. Di Eropa AS dan Inggris akan menyerang Jerman dan Italia dari arah barat, sedangkan Pasukan Merah Uni Soviet akan membalikkan keadaan dengan menyerang Jerman dari arah timur. AS yang sebelumnya lebih banyak pada awal PD II dan hanya berperan sebagai pemasok senjata mulai turun tangan setelah Pangkalan Lautnya di Pearl Harbour diserang Jepang. Sedangkan Inggris tentu saja murka setelah terjadinya battle war, perang udara antara angkatan udara Inggris dengan Jerman di atas daratan Britania Raya. Sebelumnya tidak pernah ada musuh yang berani menyerang Inggris hingga kandangnya. Takluknya Prancis, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya juga menjadi salah satu pemicu bergeraknya sekutu.

Kondisi perang perlahan-lahan mulai berbalik. Pasukan sekutu telah bisa merebut kembali Belanda, perlahan-lahan Prancis, serta meukul telak pasukan fasis Italia hingga pemimpinnya Benitto Musollini dihukum mati di depan khalayak. Dari arah timur Pasukan Merah Uni Soviet berhasil merebut Polandia dari tangan Jerman. Setalah itu sekutu mulai memasuki wilayah Jerman.

Awal 1945, Laksamana Tertinggi Jepang di Asia Selatan memanggil Soekarno ke Burma ( sekarang Myanmar ) untuk memberikan perintah pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUKI ). Seakan-akan Jepang akan mebghadiahkan kemerdekaan untuk nusantara. Namun dibalik perintah itu terdapat suatu maksud untuk mempropaganda nusantara agar berterima kasih kepada Jepang. Jepang sudah memperikarakan kekahalannya di PD II. Dan rakyat nusantara yang telah dilatih militer sewaktu-waktu bisa dikerahkan menghadapi sekutu. Dalam sidang BPUPKI mulai muncul wacana tentang bentuk negara Indonesia. Dua bulan kemudian BPUPKI diubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanpa sepengetahuan Jepang. Sidang PPKI mulai merumuskan dasar calon negara Indonesia. Pada awalnya disetujui Piagam Jakarta[40] yang diusulkan oleh Soekarno. Namun pada sidang berikutnya Piagam Jakarta berubah menjadi Pancasila.

*****

Hari-hari setelah Mbak Na menikah adalah salah satu masa tersuram dalam hidupku. Melewati detik demi detik dalam kesepian dan kekhawatiran adalah hal yang pasti dihindari oleh manusia. Dan kini aku merasakannya. Kadang aku berdoa. Tidak jelas kepada siapa. Sepertinya kepada Allah karena dia sedikit lebih kuakui eksistensinya setelah aku menyaksikan berhala pohon asem dihancurkan oleh ledakan bom tepat di depan mataku. Seingatku Bapak pernah menjelaskan bahwa takdir manusia ada di tangan Allah karena dialah Tuhan semesta alam. Dalam kondisi tertekan manusia sering mencoba mencari kekuatan yang menguasai eksistensi dirinya, seperti yang kulakukan.

Takdir itu tak terhindarkan. Paidi dan orang tuanya datang ke rumah Pakde untuk melamarku. Lamaran tidak ditolak oleh Pakde karena memang tidak lazim meminta pendapat seorang gadis yang masih bodoh. Sambil menanti hari pernikahan aku mulai belajar untuk mengucapkan, “selamat tinggal dunia!”

*****

Pasukan sekutu berhasil sampai di batas Kota Berlin, ibukota Jerman. Di tengah kondisi terdesak Hitler masih harus menghadapi pengkhianatan berupa percobaan pemubunuhan dari bawahannya, Hermann Goering. Ketika pasukan sekutu semakin mendekati istana, Hitler memilih untuk mengkhiri hidup dengan caranya sendiri. Ia bunuh diri dengan meminum racun bersama istrinya, Eva Braunn. Perang Eropa berakhir dengan kemanangan pihak sekutu.

Pada tanggal 6 Agustus 1945 The Enola Gay[41] menjatuhkan bom atom di atas kota Hiroshima. Tiga hari kemudian giliran Kota Nagasaki yang lulu lantah akibat bom atom setelah Kota Osaka yang menjadi target utama diselimuti cuaca buruk hingga menghalangi pandangan pesawat pengebom. Ada cerita menarik tentang bom atom ini terkait dengan penemunya, Albert Einstein. Pada awal PD II Hitler memerintahkan ilmuan dari seluruh Jerman berkumpul untuk membuat senjata pemusnah massal yang dahsyat. Einstein yang setelah menemukan teori relativitas bekerja sebagi profesor di Universitas Wina Austria pun dipanggil. Namun melihat semakin ganasnya Nazi Jerman melanggar hak-hak asasi manusia dengan serangan-serangannya ke berbagai negara Eropa, Einstein lari ke AS. Einstein diterima dengan baik di Princenton University, New Jersey dan diangakat menjadi professor disana. Ia berpikir jika bom atom lebih dulu ditemukan oleh Jerman maka dunia akan kiamat. Meskipun sebenarnya enggan untuk meneruskan proyek bom atom karena Einstein adalah seorang pecinta perdamaian, namun ia mau juga mengembagkan proyek pembuatan bom atom dengan tujuan perdamaian: menghentikan laju Nazi Jerman dan blok poros. Dengan meledaknya bom buatannya di Jepang, Einstein merasa sangat meyesal pernah menemukan teori itu.

Hancurnya Hiroshima dan Nagasaki membuat Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Berakhirlah PD II dengan hancurnya tiga kekuatan utama blok poros. Nusantara yang sebelumnya dikuasai Jepang otomatis diserahkan kepada sekutu. Proses penyerahan itu memerlukan waktu beberapa saat hingga timbullah kondisi vacuum of power[42] di nusantara. Mengetahui hal tersebut, golongan muda mendesak agar segera diproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Jumat 17 Agustus 1945 sekitar pukul 10 pagi, Soekarno dan Hatta memprolamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta.

*****

Desaku tidak tersentuh siaran radio atau media cetak. Namun kebanyakan warga menegtahui berita tentang proklamasi setelah berinteraksi dengan orang dari luar desa. “Merdeka!” kalimat itu kudengar berkali-kali pada dua hari itu. Apalah maksudnya aku tak tahu…Tidak ada referensi memadai sebagai tempatku bertanya. Dengan muka bodohnya Paidi berkata, “Lek ora ngomong merdeka kowe ditembak[43].“ Yang lebih mendekati kebenaran adalah sekali dua kali kudengar orang dewasa berkata, “Jepang wes mati[44]!”

Sore itu ketika Venus[45] sedang menampakkan wujudnya di ufuk barat, aku tahu bahwa takdir itu akan berubah. Seseorang yang aku yakini akan menjadi penolongku telah datang. Mbak Darmi yang bagaikan jelmaan Dewi Venus[46] mampir ke desa untuk menolongku. Dewi Venus tidak terima jika wanita hanya mendapatkan hak hidup yang singkat. “Tuhan Tahu, tapi menunggu[47]” Tuhan telah mengabulkan doaku! Mbak Darmi sedang menemani suaminya untuk sebuah urusan ketentaraan di Kabuh sehari pasca proklamasi. Namun sore itu ia memilih singgah di desa untuk menginap semalam dengan diantar seorang warga desa yang kebetulan bertemu dengannya di Kabuh.

Aku berlari menyambut Mbak Darmi. Sepertinya ia bisa menangkap auraku yang selama ini hidup dalam kecemasan namun seketika menampakkan rona bahagia ketika melihantnya. Seperti biasa Mbak Darmi selalu perhatian padaku. Beliau menanyakan kesehatanku dan semacam pertanyaan formal bagi dua orang yang jarang bertemu.

Setelah maghrib Mbak Darmi berbincang dengan Pakde dan Bude di dalam rumah. Dengan berharap agar rencana pernikahanku menjadi salah satu topik yang dibahas, aku duduk sendiri di serambi rumah sambil terus berdoa. Gigitan nyamuk dan kutu kuhiraukan. Aku takut jika saat itu menjadi kesempatan terakhirku untuk berdoa. Karena itu aku terus memohon kepada Allah.

*****

Sepertinya perbincangan di dalam telah usai. Namun aku tak kunjung melihat Mbak Darmi keluar menghampiriku dan menyampaikan kabar bahagia seperti yang kuharapkan. Rasa kantuk perlahan-lahan mulai memyerangku. Malam itu aku tertidur di serambi rumah ditemani gigitan nyamuk yang ganas.

Mimpi hanyalah sebatas bunga tidur, seperti itu kata banyak orang. Namun kadang mimpi juga bisa menjadi petunjuk akan terjadinya sesuatu. Kitab Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dengan tiga cara, salah satunya melalui mimpi. Dalam tidur singkatku itu aku bermimpi sedang berusaha memanjat sebuah pohon yang sangat tinggi. Namun ketika mimpi itu belum selesai, Mbak Darmi membangunkanku. Sebenarnya ia berniat menyurhku agar tidur di dalam rumah. Namun dalam kesadaran yang belum 100% pulih usai tidur, aku segera menghujani Mbak Darmi dengan beberapa pertanyaan. Tentu saja tentang rencana pernikahanku dengan Paidi.

Malam itu menjadi salah satu malam paling bahagia dalam hidupku. Mbak Darmi berniat membawaku ke Jombang keesokan hari. Ia ingin menyelamatkan aku, saudara bungsunya dari takdir yang akan membuatku berakhir. Ia inign aku bisa melihat dunia lebih jauh, yang sinergi dengan keinginanku. Di Jombang nanti aku akan tinggal di rumahnya, atau bisa juga tinggal di rumah Mas Sirun. Setalah itu Mbak Darmi masuk ke rumah namun aku memilih untuk tetap bertahan di luar. Aku masih ingin merayakan hari kemenanganku. Hari kemerdekaanku!

Sinar terang cahaya bulan bagaikan sebuah ucapan selamat kepadaku. Gemerlap bintang yang terhampar di kubah langit turut menyemarakkan kebahagiaanku. Aku akan melihat dunia…selamat tinggal kebodohan! Sisa malam itu aku kembali tertidur di serambi rumah, di atas bangku reyot dari kayu yang telah rapuh. Namun kali ini tidurku diselimuti senyum bahagia.

*****

Tentang kewanitaan ada beberapa teori yang dipakai saat itu. Yang pertama adalah terori klasik, atau budaya dari sebagian besar daerah di Indonesia yang masih memandang wanita sebagai obyek. Keputusan untuk menetukan jalan hidup, termasuk menikah dan memperoleh pendidikan tidak berada di tangan mereka. Berlawanan dengan teori beberapa gerakan pembaharu wanita telah marak di berbagai belahan dunia. Lily Braunn hingga Lady Scout di Eropa adalah salah satu contoh. Di Indonesia tentu saja Kartini yang menyadarkan kita betapa wanita Indonesia harus belajar. Selain itu islam juga mempunyai pandangan tersendiri tentang wanita. Memang tidak bisa dikatakan sebagai jembatan diantara keduanya. Di nusantara apalagi Kabuh teori tentang kewanitaan islam yang langsung bersumber dari Sunnah sangat tidak populer. Sekalipun ada pasti sudah bercampur dengan budaya setempat. Mbak Darmi mempunyai pandangan pro pendidikan, namun tetap mendukung pengabdian wanita kepada suami dalam batas yang menurutnya wajar. Sastrawan besar Rusia, Leo Tolstoi, pernah mengatakan bahwa pengabdian wanita kepada laki-laki bukan penindasan, tetapi sesuatu yang sangat mulia sesuai dengan kodratnya. Sudahlah, topik ini rasanya tidak akan pernah habis dibahas jika kita tidak kembali kepada islam yang merupakan sumber hukum terbaik. Tidak bisa ditawar! Hanya kita yang belum sadar.

*****

Sebanarnya Pakde tidak setuju dengan rencana Mbak Darmi untuk membawaku ke Jombang. Tapi dengan argumentasi kuat Mbak Darmi bisa meyakinkannya bahwa hidupku akan lebih baik di Jombang. Mbak Darmi ingin agar aku bisa mengenyam pendidikan sepertinya. Memang beresiko membawau ke Jombang ketika kondisi masih belum stabil. Negeri ini baru memerdekakan diri ketika terjadi vacuum of power. Sewaktu-waktu sekutu bisa kembali ke tanah air ini dan kembali menjajah, perang bisa kembali terjadi. Namun sebagai istri seorang pejuang dan dia sendiri berpikiran cukup militan, Mbak Darmi tetap yakin untuk membawaku. Sekarang atau tidak sama sekali, saat untuk mencegah pernikahanku. Keputusan tetap berada di tangan Mbak Darmi karena ialah pengganti kedudukan Mak dan Bapak.

Yang pertama harus dibereskan adalah urusan dengan keluarga Paidi. Pagi itu tak lama setelah ayam jantan berkokok Mbak Darmi bersama Pakde mendatangi rumah orang tua Paidi. Tidak ada kesulitan berarti membatalkan rencana pernikahanku. Orang tua Paidi seakan tidak berani membantah Mbak Darmi orang berpendidikan dan anak dari seorang almarhum yang cukup terpandang di desa, serta Pakde yang juga cukup disegani.

Siang itu hanya membawa tubuh yang dibalut kain goni dan bekal makanan ala kadarnya dari Bude, aku berangkat ke Kabuh bersama Mbak Darmi, diantar oleh Kastadji, putra bungsu Pakde. “Merdeka! Merdeka!” Hati kecilku berteriak demikian saking gembiranya. Sampai-sampai aku lupa berpamitan dengan teman-temanku, termasuk Paidi.

Sebelum keluar dari desa kami melewati blumbang yang biasanya kugunakan untuk mandi bersama Paidi dan teman-teman yang lain. Semakin dekat dengan blumbang firasatku mengatakan akan terjadi sesuatu. Benar saja. Saat itu blumbang sedang sepi. Namun ada sesosok remaja yang sedang duduk termenung di tepi blumbang. Ketika melihat rombongan kecilku sedang lewat, remaja itu datang mendekat. Paidi, dengan wajah penuh amarah namun terbalut kesedihan mencegat kami. Dengan bernada sedih dan terkesan memohon kalimat yang selama tidak pernah kubayangkan akan keluar dari mulutnya terdengar, “Supiyah, Kowe iku lapo lunga? Nang kene ae ambek aku. Dadi Bojoku. Ojo lunga saiki![48]” Kami semua kaget ketika tiba-tiba Kastadji membentak, “Minggir Kowe Di! Adiku arep lewat! Ojo didangdangi![49]” Paidi menjadi naik pitam mendengar kalimat Kastadji yang usianya hanya beberapa tahun di atasnya. “Awas Kowe Dji!” Paidi membalas bentakan Kastadji. Mbak Darmi segera mengambil inisiatif untuk melerai dua remaja itu. Ia maju menghampiri Paidi kemudian mengatakan sesuatu kepadanya. Aku tidak mendengar apa yang dikatakan Mbak Darmi karena ia berbicara dengan lembut. Setelah itu Mbak Darmi mengajak kami melanjutkan perjalanan. Beberapa meter setelah melewati Paidi, dari arah belakang terdenga suara, “Entenono aku nang Jombang. Aku pengen Kowe dadi bojoku Supiyah![50]” Aku belum terlalu tahu arti cinta. Tidak ada referensi tentang hal itu. Bagiku Paidi malah seperti anak-anak laki-laki yang baru saja dimarahi ibunya. Tidak lagi melawan tapi terus mengumpat. Dengan perkataan tanpa arti. Mana mungkin Paidi si remaja desa yang kudisan itu akan pergi menyusulku ke Jombang.

Diiringi pancaran sinar ultraviolet dari sang suryai, langkah kakiku terasa sangat ringan. Semakin jauh meninggalkan desa dan Paidi. Aku sudah tidak sabar untuk memulai kehidupan baru…

[1]anyaman bambu ( Bahasa Jawa )

[2]daun padi yang telah mongering / jerami

[3]terori tentang sosialisme yang ditulis dalam sebuah buku berjudul “Das Kapital”. Buku ini sempat menjad salah satu literatur paling berpegaruh di dunia pada saat itu setelah beberapa negara mulai menerapkan teori di dalamnya. Salah satu negara yang menerapkannya hingga kemudian menjadi salah satu super power di dunia adalah Uni Soviet

[4]penulis Das Kapital, sering dianggap sebagai pencetus teori sosialisme

[5]partner Karl Marx ketika menulis Das Kapital

[6]rumah tempat berpesta para pejabat di pemerintahan Hindia Belanda

[7]sebutan untuk tuan dalam Bahasa Belanda

[8]sebutan untuk nyonya dalam Bahasa Belanda

[9]perstauan hidup antara dua makhluk yang menguntungkan bagi satu pihak namun merugikan bagi pihak lain

[10]sebutan untuk orang Belanda bagi orang Jawa. Ejaannya berasal dari ejaan Polandia untuk kata Holland yang berubah menjadi Walanda, Landa, kemudian Londo

[11]perusahaan kereta api Belanda untuk wilayah operasi Kindia Belanda─Indonesia saat itu

[12] kerja paksa

[13]dalam bahasa Jawa berarti beranak, masak, dan berdandan

[14]serangan fajar, dilakukan ketika musuh belum siap. Strategi membuat Jerman berhasil menduduki negara di Eropa

[15]partai yang saat itu berkuasa di Jerman dan dipimpin oleh Adolf Hitler. Partai ini selanjutnya menjadi penguasa di Jerman dan mulai melakukan agresi ke berbagai negara Eropa dengan tujuan untuk menguasai dunia desuai dengan paham fasis yang mereka anut

[16]Adolf Hitler, pemimpin Nazi Jerman

[17]Joseph Stalin, pemimpin Rusia

[18]dua kota penting di Rusia sebelah barat. Stalingard kini bernama St. Petersburg sesuai dengan namanya sebelum Perang Dunia II

[19]bangsal yang mirip kandang hewan, digunakan untuk menyiksa hingga membubuh manusia yang dianggap ras rendahan oleh Jerman

[20]peralihan dan perebutan kekuasaan di pemerintahan Jepang yang dipimpin oleh Hidetoki Meiji, namun tetap menjadikan Kaisar sebagai kepala negara. Awal pemerintahan Meiji Jepang terus belajar, hingga beberapa tahun kemudian Jepang muncul sebagai kekuatan terbesar di timur dan mulai menganut paham fasis yang membuatnya memulai serangan ke nagara-negara yang ingin direbut.

[21]Sekolah Rakyat−sekolah setingkat SD yang didirikan oleh Belanda

[22]semacam pisau yang diletakkan di ujung senapan laras panjang

[23]lampu penerangan dari bambu

[24]percaya dan menyembah kepada roh nenek moyang

[25]percaya dan meyembah kepada benda-benda yang dianggap keramat

[26] kecepatan

[27]kemampuan bertahan hidup

[28]bubur yang terbuat dari semacam tepung sagu

[29]tentara buatan Jepang yang anggotanya adalah warga pribumi

[30] sekolah kepolisian

[31]biji dari pohon hutan berdiameter sekitar 5 mm yang berwarna merah dengan kombnasi hitam

[32]sebuah daerah di India

[33]sembilan orang ulama yang menyebarkan islam di Pulau Jawa

[34]Ndok = panggilan untuk anak perempuan dalam Bahasa Jawa

[35] Kamu mau jadi apa? tidak pernah shalat ( Bahasa Jawa )

[36]penyimpangan dalam tata cara ibadah, tidak sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Bentuk Bid’ah bisa mengurangi atau menambah bentuk dan rukunibadah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW

[37]salah ulama penyebar islam pada era walisongo, namun kemudian dihukum mati oleh dewan walisongo karena ajarannya dianggap meyesatkan

[38]bersatu dalam kalimat, bersatu dalam jiwa ( Bahasa Jawa )

[39]paham yang menagungkan negeri sendiri. Paham berpotensi menjadikan negara penganutnya mempunyai keinginan untuk menguasai dunia

[40]isi piagam Jakarta hampir sama dengan Pancasila, hanya berbeda di sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yng Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya”

[41]julukan yang diberikan pada pesawat B-29 milik AS yang bertugas menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki

[42]kekosongan pemerintahan

[43] “kalau tidaka berkata merdeka kamu kan ditembak” ( Bahasa Jawa )

[44]“Jepang sudah meninggal” ( Bahasa Jawa )

[45]Planet Venus yang kadang tampak ketika matahari sedang terbit atau tenggelam. Tetapi fenomena ini sekarang jarang bisa dilihat di kota besar karena polusi cahaya lampu dan polusi udara

[46]dalam mitologi Dewi Venus adalah dewi mengurusi masalah kewanitaan

[47] Salah satu judul buku Leo Tolstoy, sastrawan besar Rusia

[48] “Supiyah, kenapa kamu pergi? disini saja denganku. Menjadi instriku. Janga pergi sekarang!” ( Bahasa Jawa )

[49]“minggirlah kamu Paidi. Adekku mau lewat. Jangan dihalangi!” (Bahasa Jawa )

[50] “Tunggu aku di Jombang. Aku ingin engkau menjadi sitriku Supiyah!” ( Bahasa Jawa )

Untuk mendapatkan kelanjutan cerita ini hubungi penulis di peoplenoid@yahoo.com

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Pages