“Take
nothing but pictures (jangan mengambil apapun kecuali gambar), leave nothing but foot print (jangan
meninggalkan apapun kecuali jejak kaki), kill
nothing but time (jangan membunuh apapun kecuali waktu).” Itulah kode etik
petualangan di alam terbuka yang seharusnya selalu dipegang teguh para
pelakunya. Namun sayang tidak semua orang tahu kode etik tersebut. Parahnya
lagi yang tahu pun seringkali hanya sekedar menempatkanya sebagai rangkaian
kata-kata indah.
Lebaran usai. Liburan dimulai. Puluhan
destinasi di Lombok menjadi venue hajatan
tahunan berikutnya. Puluhan ribu orang dari beragam latar belakang
berbondong-bondong menyerbu pantai, gunung, juga apapun bentuk eksotisme alam
yang tersedia di pulau eksotis ini. Ada yang menggunakan mobil penumpang dengan
beragam bentuk dan ukuran, mobil bak terbuka, sepeda motor, hingga sepeda. Suatu
hal positif bahwa setelah “ber-jihad”
selama sebulan penuh melalui ramadhan dan merayakan hari kemenangan, ada
kecenderungan masyarakat benar-benar memanfaatkan alam untuk berekreasi. Hal
positif lain adalah gencarnya promosi pariwisata Provinsi NTB yang seolah
sinergi dengan begitu cepat terkenalnya berbagai destinasi wisata di Pulau
Lombok. Juga begitu nyatanya laju pembangunan jalan di berbagai sudut pulau
Lombok. Arus investasi pun cukup gencar dan telah nyata memberikan kontribusi
terhadap perubahan wajah pada beberapa titik di Pulau Lombok.
Namun sayangnya kedua hal tersebut
bertemu pada satu titik yang sangat memprihatinkan. Rupanya kecenderungan untuk
menikmati keindahan alam serta pesatnya arus pembangunan tidak diimbangi dengan
kesadaran masyarakat tentang sampah. Lihat saja Pantai Pink yang beberapa tahun
lalu masih perawan. Empat hari setelah Idul Fitri kami melakukan perjalanan
kesana bersama keluarga. Sungguh bangga melihat masyarakat berbondong-bondong
menuju semenanjung tenggara Pulau Lombok tersebut. Mereka melakukan perjuangan
hebat untuk mencapainya karena 13 kilometer terakhir menjelang Pantai Pink tidak
ada jalan beraspal mulus, melainkan jalan tanah bercampur batu. Virus petualangan
benar-benar mewabah. Namun begitu tiba di Pantai pink kita akan terkejut
melihat sampah berserakan dimana-mana serta terlihat menumpuk pada beberapa
titik yang seolah dianggap sebagai ‘tempat sampah’. Tak jauh dari mobil terparkir
terdapat sebuah keluarga yang menggelar tikar dan sedang menyantap beberapa
jenis makanan. Saat beranjak pergi mereka membiarkan begitu saja beberapa jenis
sampah mulai dari sisa makanan, tissue, hingga
plastik dan botol minuman kemasan yang juga terbuat dari plastik! Saat
seseorang dengan dandanan seperti “pecinta alam” mencoba menegur, salah satu
anggota keluarga tersebut hanya memberikan argumentasi yang kurang lebih akan
bermakna nanti juga akan ada yang mengurus. Bahkan salah satu anggota keluarga
kami pun ada yang dengan seenaknya membuang plastik bekas makanan. Ketika sang
kakak menegurnya jawabannya pun kurang lebih sama.
Setelah (tidak) puas menikmati Pantai
Pink, kami pun memutuskan bergerak ke Tanjung Ringgit. Jalan menuju ke tempat
ini setingkat lebih ekstrim dan secara alamiah hal ini pun menjadi filter jumlah pengunjung. Bayangkan saja
selain jalan tanah yang tingkat ketidakmulusannya lebih parah, kemiringan lebar
jalan juga membuat adrenalin bergelora. Kami berhenti di sebuah titik dan
menyaksikan begitu indahnya bukit-bukit vertikal dan rangkain bebatuan yang
langsung berpadu dengan ganasnya ombak samudra. Lantas apakah tempat ekstrim
tersebut bebas sampah? Tidak! Kami masih menjumpai beberapa bungkus makanan
kemasan meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding dengan di Pantai Pink.
Selama perjalanan pulang saya terus
merenungkan ironi sampah tersebut. Apakah memang cara berpikir saya yang tidak
lazim, atau ada kebiasaan umum yang memang dilazimkan. Namun saya mencoba yakin
bahwa agama dan ilmu pengetahuan umum sejatinya tidak melazimkan hal tersebut.
Hakikat utama dari tempaan rohaniah
selama ramadhan membuahkan hasil yaitu manusia yang bertakwa sesuai dengan
tujuan diwajibkannya puasa bagi orang beriman di dalam surat Al-Baqarah ayat 183.
Apapun definisi takwa, yang umum dipahami adalah konsep menjalankan segala
perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Jika memang demikian, maka
kebanyakan manusia tentu gagal dalam bertakwa karena Allah pun melarang kita
membuat kerusakan di muka bumi. Misalnya surat Al A’raf ayat 56: “Dan janganlah kami membuat kerusakan di muka
umi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut
(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah
amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” Jika keberagamaan kita
benar-benar disadari sebagai penyerahan diri kepada tuntunan Allah dan
Rasul-Nya yang mengatur seluruh sendi kehidupan kita, niscaya di dunia ini
tidak akan ada sampah yang dibuang sembarangan. Tak perlu kita berargumentasi
akan fakta ini dan jauh lebih baik jika mawas diri dengan men-tadabburi ajaran-Nya.
Mayoritas dari kita pun tentu pernah
mengenyam Ilmu Pengetahuan Alam di sekolah dasar, bahkan sebagian tentu
berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Tak jarang juga di antara kita yang
pernah mendengar atau membaca tentang sampah non-organik yang mencemari lapisan
bumi dan kerusakan alam lainnya. Bahkan kearifan lokal kita pun pada umumnya
juga mendorong pelestarian alam. Namun logika kita mati. Kita tidak pernah
berpikir dan memiliki kesadaran akan sampah. Seandainya pun ada yang mengelola,
apakah elok jika kita membiarkan begitu saja sampah berserakan di atas tanah
(dan sebagaian bisa terbawa ombak dan mencemari laut) dan berpikir akan ada
orang yang memungut sampah tersebut satu per satu? Tak perlu kita mencari
asalan akan fakta ini karena bebeberapa destinasi di Lombok yang sudah
disediakan tempat sampah pun masih ada saja sampah berserakan. Masalahnya bukan
pada tidak adanya prasrana tetapi kepedulian individu yang terakumulasi menjadi
kepedulian bersama. Gencarnya promosi wisata menjadi buah simalakama yaitu
kerusakan lingkungan yang menjadi ancaman nyata.
Faktor manusia sungguh bisa berdampak
pada berbagai hal di muka bumi ini karena sesungguhnya manusia memiliki tugas
yang begitu penting yaitu sebagai khalifah
(wakil Allah) dengan memanfaatkan, mengelola, dan memelihara alam semesta. Namun
sepertinya kita terlalu banyak membuat sensasi tanpa esensi. Rupanya
keberagamaan kita selama ini hanya disibukkan dengan ritual-ritual yang tak jelas
dalil serta sangat minim substansi
dalam hal penghayatan dan aplikasinya dalam kehidupan nyata. Rupanya pendidikan
kita selama ini hanya ditandai dengan pentingnya nilai di atas kertas, gelar akademis
yang dicapai, serta tujuan materiil semata.
-Hz-
No comments:
Post a Comment