Perjalanan Pertama Menuju Papua - Hamzah Maulana

Post Top Ad

Perjalanan Pertama Menuju Papua

Perjalanan Pertama Menuju Papua

Share This
Ketika membuka peta Indonesia, senang rasanya melihat berbagai tempat telah kujelajahi. Uniknya sebagian secara tak sengaja juga terjelajahi akibat pekerjaan. Dua hal yang harus singkron, selalu berjalan bersama di dalam ritme perjalanan hidup yang dinamis. Inilah perjalanan pertama saya menuju Papua, provinsi di ujung timur Indonesia yang pada tahun 200M disebut oleh Claudius Ptolemaeus sebagai Labadios. Pulau yang pada 1936 menarik perhatian Jean Jacques Dozy untuk melakukan ekspedisi Cartenzs hingga akhirnya membuat laporan yang akhirnya mengundang "dunia" untuk datang. Inilah pulau dimana keindahan hutan tropis dan keanekaragaman hayatinya berpadu dengan kekayaan alam. Kekayaan yang lebih banyak bersentuhan dengan anomali, baik alami mapun buatan. Anomali ice glacier di daerah tropis, anomali adanya gunung tembaga yang konon dikatakan oleh Dozy bahwa kandungannya hingga permukaan, hingga anomali tentang ketidakstabilan keamanan saat warisan catatan Dozy menjadi harta karun yang terkelola secara sistematis yang diawali dari ekspedisi lanjutan oleh Forbes Wilson.

Perjalananku kali ini bukan sekedar trip singkat, tetapi salah satu cerita hijrah untuk yang kesekian kali. Untuk beberapa tahun ke depan mungkin aku akan hidup tempat itu, sebelum kembali menjelajah sisi lain dunia. Perjalananku sejatinya dimulai dengan penandatanganan sebuah perjanjian kerja dan pemberian tiket serta sedikit uang saku perjalanan pada beberapa hari sebelumnya. Disusul dengan check ini yang terlalu awal di Bandara Juanda hingga akhirnya harus menunggu berjam-jam sebelum masuk ke dalam pesawat. Jam keberangkatan pesawat dari Indonesia barat ke timur terutama Papua memang seringkali dibuat malam baik untuk pesawat komersil maupun pesawat non-komersil yang menjalin kerjasama dengan suatu perusahaan seperti ini. Pesawat yang akan kunaiki ini sejatinya berangkat dari Jakarta sekitar pukul 22:00 WIB, kemudian transit di Surabaya dan Makassar. Dibantu oleh rotasi bumi yang berlawanan arahnya dengan arah terbang pesawat, maka sekitar pukul 06:00 - 07:00 WIT sudah akan tiba di kota tujuan di Papua. Sekilas kita sudah melewati malam secara penuh di dalam pesawat karena ketika tiba matahari sudah bersniar terang. Namun sejatinya kita akan kehilangan 2 jam karena perbedaa waktu tersebut yang diperparah dengan harus begadang di bandara di Indonesia barat hingga nyaris tengah malam WIB (dini hari WIT).

Penerbangan Surabaya - Makassar terasa singkat dan cenderung menyiksa. Hingga sekitar 45 menit sulit rasanya untuk tidur meskipun harus dipaksakan karena hampir semua penumpang terutama yang naik dari Jakarta sudah tertidur lelap. Padahal perjalanan hanya sekitar 1 jam lebih sedikit dan di Makassar seluruh penumpang diwajibkan turun karena alasan safety ketika pesawat sedang diisi bahan bahan bakar. Untungnya arsitektur bandara Sultan Hasanuddin Makassar yang "tak biasa" cukup menyejukkan pandangan. Inilah gerbang timur Indonesia. Bagiku desain bandara ini cukup sukses untuk mengingatkan supremasi maritim nenek moyang kita. Replika Kapal Layang Pinisi yang berdiri kokoh di lobi terminal juga semakin membuat kita mengingat slogan TNI AL "Jalesveva Jayamahe" yang berarti "di laut kita jaya".

Penerbangan Makassar - Timika adalah saat tidur sebenarnya. Namun sedikit "terganggu" dengan sajian late dinner yang harus dilahap karena perut mulai bergejolak namun konsekuensinya adalah durasi tidur yang berkurang dan entah apa efek makan sebelum tidur. Perut kenyang, saatnya menata bantal dengan tepat.

Aku terbangun beberapa saat sebelum pilot memberikan pengumuman mengenai posisi pesawat dari tujuan akhir yaitu Bandara Mozes Kilangin Timika disertai berbagai informasi tambahan misalnya tinggi jelajah pesawat, cuaca di Timika, dsb. Sebenarnya kami belum masuk pulau Papua. Di bawah kami lauta biru luas membentang, kurang lebih sekitar Laut Banda - Laut Arafura. Ada satu hal istimewa ketika menyaksikan matarahari terbit berada di horizon di depanku, di timur jauh. Sedangkan jika melihat langit di sisi belakang pesawat nampak masih gelap. Di belahan bumi lain, mungkin ibuku sedang terbangun melakukan qiyamul lail. Lebih ke barat lagi mungkin adzan isya dan maghrib baru berkumandang. Sementara di timur tak jauh dari posisi pesawat ini, ribuan karyawan tambang sudah mulai melakukan aktivitasnya.  "[QS 31:29] Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Pesawat mulai melewati di atas garis pantai Papua. Sungguh pulau ini nampak alami, liar, dan misterius! Jika seringkali aku takju dengan keindahan garis pantai yang putih bersih ketika terbang ke Pulau Lombok, kali ini aku menyaksikan pemandagan yang sama sekali berbeda. Garis pantai hitam (yang sebenarnya adalah hijau) dipecah oleh kelok-kelok sungai dan teluknya. Inilah pulau terbesar di dunia (setelah Greenland) dengan 81,14% daratannya adalah hutan! Menjadi habitat dari berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang sebagian besar hanya ada di tempat ini. Semakin dekat dengan Timika, hutan di bawahku semakin nampak jelas. Tak lama kemudian pesawat mendarat di bandara "internasional" di Timika yang pagi itu sangat cerah. Bandara ini memang kecil namun penting, sibuk, dan dibangun secara fungsional. Desainnya sederhana bahkan cenderung aneh seperti layaknya bangunan seperlunya di pertambangan. Namun inilah pintu masuk salah satu situs pertambangan tembaga terbesar di dunia. Di badan bus, lobby bandara, ruang tunggu, bahkan sebenarnya hingga kursi pesawat pun semuanya penuh dengan logo kombinasi huruf FM.

Selesai mengambil barang di conveyor, sesuai dengan instruksi dari perusahaan, tugas pertamaku adalah pelapor ke bagian UID (universal ID) di bandara. Setelah menyerahkan surat pengantar untuk memproses ID sementara berjenis visitor, sang petugas nampak mempersilahkanku menunggu sambil meonton video orientasi jobsite dan safety. Selesain urusan administrasi, aku bertemu dengan Pak L yang kemudian mengatarkanku ke tempat check in helikopter tujuan Tembagapura. Tranprtasi ke Tembagapura dari Timika dapat ditempuh dengan dua moda yaitu darat dengan bus dan udara dengan helikopter. Bus itulah transportasi massal bagi sebagian besar karyawan yang cuti atau sekedar turun ke Timika di akhir pekan saat day off. Sedangkan akses menggunakan helikopter relatif lebih terbatas dan penerbangannya pun dibatasi oleh kondisi cuaca di dataran tinggi. Jika cuaca buruk terutama ketika kabut tebal maka sudah pasti helikopter akan berhenti beroperasi sesuai dengan aturan safety yang berlaku. Untungnya cuaca pagi itu sangat cerah sehingga peluangku untuk bisa naik helikopter lumayan besar. Hampir 1 jam aku berada di ruang tunggu keberangkatan dengan poster-poster tentang produksi dan CSR perusahaan ini hingga akhirnya tibalah giliranku untuk masuk ke dalam helikopter dengan urutan M-4.

Baling-baling helikopter yang sudah berputar sangat kencang dan elevasi hhelipkter semakin naik dan bergerak ke utara meninggalkan Bandara Mozes Kilangin. Pemandangan utama setelah bandara adalah modified deposition area untuk tailing perusahaan ini. Setelah itu hutan lebat kembali memanjakan pandangan diserta segaris jalan tambang yang sesekali di sampingnya terdapat fasilitas perusahaan. Tpografi yang awalnya datar berubah menjadi ramai dengan perbukitan yang seolah tanpa batas. Jauh di ujung mata memandang nampak awan tebal menyelimuti bagian tertinggi dari pegunungan tersebut. Inilah gugusan pegunungan Jayawijaya di Papua, pegunungan yang membentang di bagian tengah pulau ini dari Papua Indonesia hingga negara New Guinea. Di pegunungan ini juga terdapat ice glacier di daerah tropis, yang inti esnya beberapa waktu lalu diteliti sebuah tim yang dipimpin oleh Prof Lonnie G Thompson dengan salah satu hasil: "Hampir pasti di sini dan di tempat-tempat tropis yang lain, kira-kira dalam 30 tahun mendatang gletser akan hilang akibat perubahan iklim," (Antara News 26 Juni 2010).

Rupanya helikopter ini terbang mengikuti alur sungai untuk membelah bukit-bukit terjal yang beberapa dindingnya nyaris vertikal. Sesekali terlihat rumah tradisional penduduk di sekitar sungai tersebut. Setelah itu helikopter berbelok tajam mengikuti alur sungai dan mulai nampak sebuah "perkampungan" besar di sebuah lembah. Itulah tembagapura, suatu kecamatan di Kabupaten Mimika sengan elevasi sekitar 1800mdpl yang menjadi townsite di dataran tinggi perusahaan ini. Helikopter mendarat dengan lancar di helipad Tembagapura. Udara segar, pandangan didominasi warna hijau, serta bangunan-bangunan khas townsite perusahaan pertamabangan multinasional menjadi pemandangan utama. Welcome to Tembagapura and this is the next chapter of #planningengineerstory.

Airfast tujuan Timika, di bariw paling bawah
Masuk pesawat saat tengah malam
Singgah sejenak di Makassar
Makan malam tambahan
garis pantai sisi barat Papua
Foto lain menyusul, masih di harddisk

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Pages