Timur Jawa diselimuti awan hitam tebal. Pesawat terasa bergoncang dan membuatku mulai merasa tidak lagi menikmati perjalanan sepenuhnya. Namun wanita di sampingku tertidur lelap. Dialah wanitaku, yang menuntunku bermimpi. Kini kami memainkan bagian dari mimpi itu. Bersamanya aku akan mendaratkan kaki di bumi selaparang. Memulai sekuel kesekian dari mimpi kami.
Wanita itu bangun ketika kami di atas angkasa Bali. Co-pilot mengumumnkan lewat pengeras suara bahwa kami telah menyebrangi selat Bali. Perlahan-lahan langit menjadi cerah. Sinergi dengan indahnya pemandangan, gerakan awan memberikan kami kesempatan yang lebih teruka untuk melihat bumi di bawah sana. Bumi para dewata.
Di bawah sedikit ke arah selatan terlihat pemandangan yang membuatku semakin takjub pada kagungan Tuhan yang maha agung. Gunung Agung yang terleta di sisi timur pulau Bali nampak gagah memukau. Kawahnya yang dikelilingi daratan berwarna hijau lebat membuatku semakin tertantang untuk menaklukkannya. Tepat ketika pemandangan itu tersaji Atiyya bangun dan tanpa dikomando mulai menjadi pemandu bagiku yang seperti baru pertama kali naik pesawat akibat heboh bukan main melihat Gunung Agung.Tepat di sebelah timur Gunung Agung sebagai batas paling timur Pulau Bali kami kembali berada di atas lautan. Inilah Selat Lombok yang menurut Alferd Russel Wallace[1] adalah garis batas antara flora dan fauna Asia di sebelah barat dan Australonesia di sebelah timur. Garis imajiner tersebut kemudian dikenal dengan garis Wallace yang membagi wilayah tropis Indonesia menjadi dua bagian. Sungguh mengagumkan negeri ini. Dengan alam tropis yang indah terbentang dari timur ke barat melintasi sekitar 17.000 pulau, flora dan faunanya pun sangat beragam. Singkat kata negeri ini dihuni oleh dua ras besar makluk hidup. Dari ujung barat Sabang hingga selat Lombok adalah wilayah bagi flora dan fauna Asia seperti harimau Sumatra, gajah, dan berbagai tumbuhan khas Asia. Namun dari Selat Lombok terus ke timur Hingga ujung timur Merauke di Papua flora dan fauna yang hidup pun khas Australia. Cendrawasih, Tapir, hingga Koala yang ada di Papua adalah jenis hewan yang sama sekali berbeda dengan hewan di wilayah Asia. Selain itu genus atau dalam tingkatan taksonomi yang lebih tinggi antara flora dan fauna di Australia dan Asia secara spesifik species-nya berbeda. Misalnya sapi Asia dan sapi khas Nusa Tenggara yang secara kasat mata pun jelas perbedaannya. Jika Pandangan mataku menembus birunya selat Lombok, mungkin aku akan bisa melihat batas yang nyata antara flora fauna Asia dan Australia.
Selanjutnya Atiyya sama sekali tidak tidur dan ia terus bercerita tentang keindahan daerah asalnya. Tak lama lagi dari atas sini kita akan melihat tiga gili yang merapat di Pulau Lombok.” Atiyya berkata kepadaku seolah pemandangan yang baru saja kusaksikan di angkasa Bali belum ada apa-apanya dibandingkan Lombok.
Beberapa menit kemudian Atiyya terlihat sibuk memandang keluar jendela pesawat sebelum kemudian dengan bangga ia menunjukkan padaku tiga gili[2]. Dari angkasa terlihat tiga pulau kecil yang menginduk pada Pulau Lombok. Sangat indah. Inilah Indonesia. Nusantara. The biggest archipelago in the world seperti yang selalu katakana kepada warga negara lain di seluruh dunia.
Detail kota Mataram semakin terlihat jelas. Ketinggian pesawat terus berkurang dan pandangan mataku mulai berpaling dari tiga gili. Dari ketinggian beberapa ratus meter kota Mataram terlihat sebagai kampung besar dengan beberapa ruas jalan utama. Aku sudah bisa menebak dimana letak Bandara Selaparang karena jalan aspal yang cukup panjang dan terbuka yang mengiindikasikan lapangan terbang. Setiap sudut kota ini terlihat yang menandakan bahwa ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat ini memang relatif kecil. Pesawat melakukan manuver berputar ke arah utara kota dengan ketinggian yang tidak lagi mengahalangiku untuk dengan jelas melihat jalan raya dengan segala kendaraan yang lewat seperti sepeda, mobil, sepeda motor, bahkan cidomo[3]. Pada ketinggian inilah aku mesrasakan sensasi yang sangat mengagumkan dari pesawat terbang. Aku bisa melihat jelas gedung-gedung perkantoran yang maksimal hanya berlantai empat, toko, pemukiman, hingga pohon-pohon di depannya.
Beberapa detik kemudian aku merasakan guncangan yang sangat keras. Pesawat telah berhasil menginjakkan rodanya di landasan pacu Bandara Selaparang. Laju pesawat terasa sedikit kasar. Kemungkinan karena kualitas permukaan landasan pacu di bandara ini tidak sebagus di Soekarno-Hatta atau Juanda. Selain itu pesawat memang terasa mengerahkan seluruh tenaganya untuk berhenti. Aku jadi ingat seorang sakawanku pernah berkata bahwa sebenarnya landasan pacu di Selaparang memang kurang memadai. Panjangnya sangat mepet dengan panjang minimal yang dibutuhkan oleh pesawat Boeing 737-900ER yang merupakan jenis pesawat yang paling banyak digunakan untuk kepentingan komersil. Oleh sebab itu setiap pesawat yang mendarat harus dengan sangat cermat memperhitungkan perlambatannya.
Bagiku yang hampir dua jam sebelumnya berada di Jakarta, tentu terasa perbedaan aura ketika mendarat. Bandara selaparang memang tidak terletak di dataran tinggi dan tidak juga berada di sekitar pantai. Tetapi aku menyebut “hawanya” memang berbeda. Aku telah menginjakkan kaki di Lombok. Di sisi barat dan utara bukit bukit hijau sangat menyegarkan mata. Pada salah satu bagian nampak menjulang tinggi menantang langit bagai sebuah simbol. Itulah Gunung Rinjani, salah satu simbol penghidupan masyarakat Lombok. Selain itu tiupan angin yang menyentuh tubuhku serasa menegaskan bahwa aku telah sampai di surga.
Aku sempat mengambil beberapa foto dilandasan pacu sebelum memasuki terminal kedatangan. Suasanan sangat lengang karena memang pesawat yang kutumpangi hanya membawa sekitar dua puluhan penumpang. Bukan masa liburan bisa menjadi salah satu alasan sepinya penerbangan tersebut. Di ruang pengambilan barang bagasi suasananya tak kalah lengang dibanding di dalam pesawat. Sepetinya semakin lengkap suasana hatiku dengan tidak adanya hiruk pikuk bandara seperti yang biasa kualami ketika mengunjungi kota lain.
Dua koper besar yang dibawa Atiyya telah muncul di conveyor dan langsung kami ambil. Semua barang kami telah lengkap. Bawaanku hanya sebuah backpack 3 liter, tas laptop jinjing, dan sebuh pocketbag. Setelah itu kami meninggalkan ruangan tersebut untuk keluar. Kami langsung disambut oleh penjemput kami masing-masing. Faisal (Isal), sepupuhku yang tinggal di Sumbawa besar dengan senyuman hangatnya menungguku di pintu kedatangan. Sedangkan orang tua Atiyya berdiri tak jauh dari Isal. Kami menemui penjemput masing-masing sebelum kemudian bergabung lagi menjadi kelompok yang lebih besar. Orang tua Atiyya memang tidak tahu bahwa Faisal adalah penjemputku. Mereka menawarkan untuk mengantar aku dan Isal ke hotel tempat kami akan menginap. Di dalam travelling, jangan sia-siakan tawaran baik orang lain yang memberimu tumpangan. Gayung bersambut. Kami pun bergegas menuju mobil yang diparkir tak jauh dari pintu kedatangan. Sang sopir dengan ramah membantu memasukkan barang kami ke bagasi belakang. Setelah itu mobil mulai melaju keluar dari tempat parker bandara.
Welcome to Mataram
Aku harus menyesuaikan jamku dengan Waktu Indonesia Tengah yang lebih cepat satu jam dari Waktu Indonesia Barat. Dan… WITA telah sampai pada pukul 12.00 yang artinya telah masuk waktu dhuhur dan… lunch! Entah setan apa yang membuat Ayah Atiyya mampu membaca pikiranku sehingga ia mengatakan bahwa tujuan pertama kami adalah rumah makan. Kami kan akan makan sambil menunaikan shalat dhuhur. Setelah itu mengantarkan ayah Atiyya ke tempat ia akan menghadiri sebuah acara, mengantarkan aku dan Isal ke hotel, kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah Atiyya di Selong, Lombok Timur.
Mataram adalah kota yang terletak di bagian barat pulau Lombok. Kami melewati beberapa jalan utama di kota ini. Lalu lintas cukup lengang. Sepertinya bisa diprediksi juga pada peak season pagi dan sore hari tak ada kemacetan. Bangunan kantor instansi pemerintah menjadi pemandangan utama di jalan-jalan protokol. Sebgaian besar bangunan tersebut bercorak lumbung padi yang merupakan bangunan khas provinsi ini. Di bagian paling modern kota ini pun kearifan lokal tak tersisihkan.
Kami mulai memasuki kawasan pertokoan. Tak lama kemudian Mal Mataram nampak ramai di sebelah kiri jalan. Semoga saja hanya ini mal satu-satunya di provinsi ini. Pada bagian ini bangunan dengan corak lumbung padi mulai tak tampak. Sepertinya hanya instansi pemerintah yang setia melestarikan budaya NTB. Tak lama kemudian kami mulai memasuki wilayah yang sepertinya sudah di luar Kota Mataram. Mulai nampak sawah dan jalanan semakin lengang.
Kami berhenti di depan Rumah Makan Bengkel “Murah Meriah” Khas Sasak Asli Lombok. Seperti itulah nama lengkap rumah makan ini. Lokasinya berada di Jl. Tgh. Ibrahim Al Kholidi Bengkel, Lombok Barat. Sepertinya rumah makan ini memang telah mempunyai nama. Selain kami tampk belasa wisatawan asing sedang menikmati makan siangnya. Semakin lengkap hari pertamaku di Lombok dengan sajian makanan khas Sasak.
[1] Ahli biologi Inggris yang melakukan penelitian di nusantara sekitar abad XVIII. Data yang diperolehnya menjadi dasar bagi Charles Darwin ketika menyusun teori evolusinya
[2] Pulau kecil
No comments:
Post a Comment