Hamba Megapolitan - Hamzah Maulana

Post Top Ad

Hamba Megapolitan

Hamba Megapolitan

Share This

Jutaan orang melakukan ritual ini setiap hari. Pemberhalaan uang dalam kehidupan megapolitan melahirkan fanatisme. Lebih dari itu sebua candu. Dan lebih dari itu sebuah kewajiban yang status wajibnya disampaikan dalam sebuah wahyu: kalian harus bekerja. Ironisnya dogma tersebut sama sekali tidak boleh dilanggar. Untuk itu mereka pun berdakwah dengan instrument yang mereka sebut “pendidikan.”

“Sekolah yang pintar nak. Dengarkan gurumu berceramah. Hafalkan. Dan ketika ujian kau harus dapat nilai tertinggi. Setelah itu masuklah ke kampus terbaik. Raih nilai terbaik. Serta dapatkan pekerjan terbaik.” Doktrin tersebut tak dapat dipungkiri oleh setiap insan masih atau bahkan mau tidak mau terjebak ke dalam kehidupan megapolitan. Bid’ah yang lahir dengan cepat terkikis karena kuatnya kadar keimanan kamu tersebut.

Kehidupan telah diseragamkan. Banyak kaum alim yang seolah tak pernah mau atau memang tak mampu lepas dari ritualnya. Meninggalkan rumah ketika langit masih gelap. Berdesakan masuk ke dalam kereta yang bahkan untuk kelas express pun situasinya tak lebih baik dari kandang ayam. Seharian bergelut dengan tugas korporasi. Dan berlomba-lomba ke pinggiran kota untuk segera sampai rumah. Situasinya sama dengan pagi itu. Ritual tersebut tak bisa ditinggalkan jika tidak mau disebut kafir. Kewajiban membayar upeti kepada kreditur adalah harga mati yang membuat mereka tak bisa sedikit pun meninggalkan ibadah tersebut. Tetapi Tuhan megapolitan adil. Pahala berupa rumah sederhana mereka peroleh. Beberapa ada yang mendapatkan pahala lebih berupa sepeda motor.

Bersama bidadari dan anak-anak mereka, kehidupan berjalan terlalu cepat. Satu hari adalah senin pagi dan berakhir jumat petang. Sabtu dan minggu adalah sedikit kebebasan dari ritual ibadah. Bebrapa bidadari pun seringkali juga harus ikut beribadah. Mereka mengharapkan Tuhan memberikan pahala lebih, dengan memerintahkan bidadari yang seharusnya menjadi menteri dalam di negeri di rumah untuk ikut beribadah. Tapi Tuhan megapolitan tak pernah murka. Justru senang jika bidadari harus ikut beribadah.

Di lembaga yang sering disebut sekolah, anak-anak mereka kembali mendapatkan doktrin. Mereka tidak boleh berpikir di luar platform yang ada. Tidak boleh nakal. Mereka menjadi robot. Kelak akan menjadi ahli ibadah seperti orang tuanya. Mereka harus dipaksakan bahagia dengan kondisi ibadah yang sama sekali tidak bisa ditinggalkan.

Untung aku nakal. Tuhan megapolitan tidak menerimaku sebagai hamba. Aku pun pergi sebagai kafir. Menjadi anak buah setan. Dan setan telah dilaknat untuk tidak akan pernah masuk surga. Aku justru bahagia. Selamnya akan menjadi kafir megapolitan. Mencari kebahagiaan dengan jalanku sendiri.


-Hz-
Beberapa tahun lalu


No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Pages