Jutaan orang melakukan ritual ini setiap hari. Pemberhalaan uang dalam kehidupan megapolitan melahirkan fanatisme. Lebih dari itu sebua candu. Dan lebih dari itu sebuah kewajiban yang status wajibnya disampaikan dalam sebuah wahyu: kalian harus bekerja. Ironisnya dogma tersebut sama sekali tidak boleh dilanggar. Untuk itu mereka pun berdakwah dengan instrument yang mereka sebut “pendidikan.”
“Sekolah yang pintar nak.
Dengarkan gurumu berceramah. Hafalkan. Dan ketika ujian kau harus dapat nilai
tertinggi. Setelah itu masuklah ke kampus terbaik. Raih nilai terbaik. Serta
dapatkan pekerjan terbaik.” Doktrin tersebut tak dapat dipungkiri oleh setiap
insan masih atau bahkan mau tidak mau terjebak ke dalam kehidupan megapolitan.
Bid’ah yang lahir dengan cepat terkikis karena kuatnya kadar keimanan kamu
tersebut.
Kehidupan telah diseragamkan.
Banyak kaum alim yang seolah tak pernah mau atau memang tak mampu lepas dari
ritualnya. Meninggalkan rumah ketika langit masih gelap. Berdesakan masuk ke
dalam kereta yang bahkan untuk kelas express pun situasinya tak lebih baik dari
kandang ayam. Seharian bergelut dengan tugas korporasi. Dan berlomba-lomba ke
pinggiran kota untuk segera sampai rumah. Situasinya sama dengan pagi itu.
Ritual tersebut tak bisa ditinggalkan jika tidak mau disebut kafir. Kewajiban
membayar upeti kepada kreditur adalah harga mati yang membuat mereka tak bisa
sedikit pun meninggalkan ibadah tersebut. Tetapi Tuhan megapolitan adil. Pahala
berupa rumah sederhana mereka peroleh. Beberapa ada yang mendapatkan pahala
lebih berupa sepeda motor.
Bersama bidadari dan anak-anak
mereka, kehidupan berjalan terlalu cepat. Satu hari adalah senin pagi dan
berakhir jumat petang. Sabtu dan minggu adalah sedikit kebebasan dari ritual
ibadah. Bebrapa bidadari pun seringkali juga harus ikut beribadah. Mereka
mengharapkan Tuhan memberikan pahala lebih, dengan memerintahkan bidadari yang
seharusnya menjadi menteri dalam di negeri di rumah untuk ikut beribadah. Tapi
Tuhan megapolitan tak pernah murka. Justru senang jika bidadari harus ikut
beribadah.
Di lembaga yang sering disebut
sekolah, anak-anak mereka kembali mendapatkan doktrin. Mereka tidak boleh
berpikir di luar platform yang ada. Tidak boleh nakal. Mereka menjadi robot.
Kelak akan menjadi ahli ibadah seperti orang tuanya. Mereka harus dipaksakan
bahagia dengan kondisi ibadah yang sama sekali tidak bisa ditinggalkan.
Untung aku nakal. Tuhan
megapolitan tidak menerimaku sebagai hamba. Aku pun pergi sebagai kafir.
Menjadi anak buah setan. Dan setan telah dilaknat untuk tidak akan pernah masuk
surga. Aku justru bahagia. Selamnya akan menjadi kafir megapolitan. Mencari kebahagiaan dengan jalanku
sendiri.
-Hz-
Beberapa tahun lalu
-Hz-
Beberapa tahun lalu
No comments:
Post a Comment